hujan

selalu ingin berbagi dengan anda semua

Jumat, 07 Maret 2014

makalah kewarganegaraan


EUTHANASIA DALAM SEGI HAM , HUKUM DAN AGAMA
MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas UAS Mata Kuliah
“KEWARGANEGARAAN/PKN”
Dosen Pengampu:
Dewien Nabielah A, M. Sos.


Oleh :
Andini Zahra Adystia           (D71213080)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2013





BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia pada tahun 1985 mengeluarkan pernyataan tentang mati itu. IDI berpendapat bahwa manusia dinyatakan mati jika batang otaknya tidk berfungsi lagi. Dalam euthanasia kehendak pasien amat penting, karena yang menderita adalah mereka. Oleh karenanya, beberapa pertanyaan mendasar dan kritis mengenai hal ini sering diajukan, seperti misalnya apa perbedaan antara permintaan mati dan bunuh diri? Apakah hak untuk mati adalah milik manusia yang bersangkutan? Kalau milik manusia kapan dapt digunakan hak mati itu? Kepada siapa diajukan hak mati itu, kepada negara, pengadila ataukah dokter? Kini tampaknya di negara – negara tertentu pengadilan atau lembaga hukum semakin berperan. Pengadilan dapat menerma atau menolak permintaan untuk mati.

Dalam dunia maju di mana nilai – nilai dan peran agama semakin terpinggirkan, euthanasia akan semakin banyak digunakan untuk “membantu” melapaskan pasien dari “penderitaan”. Kita perlu hati – hati dan waspada agar tidak ceroboh dalam perkara ini. Bagaimanapun, agama pelaksanaan profesi kita. Di lain pihak, kita juga tahu bahwa interpretasi keagamaan sendiri juga perlu berkembang. Isu – isu euthanasia, penentuan saat – saat kematian dan masalah lain dalam bioteknologi yang menyangkut manusia akan semakin kompleks. Oleh karenanya, sikap arif dan bijaksana dalam memecahkan isu – isu baru sangat dibutuhkan untuk mencari pemecahan yang terbaik.

Kalau terjadi perbedaan pandangan dan pendapat, hal itu sebenarnya adalah normal – normal saja dalam masyarakat terbuka dan demokrasi. Namun, yang mesti dicegah adalah pemaksaan kehendak dan segala kecenderungannya, termsuk pemaksaan yang dilakukan oleh satu pihak, seolah – olah hanya pihak itu saja pemiik kebenaran, sementara orang lain pasti salah. Kebenaran mutlak hanya milik Allah, dan selama kebenaran itu datang dari pikiran manusia, selama itu akan bersifat relatif, dan akan dinilai kebenaran sesungguhnya dalam perjalanan waktu dan tempat.[1]

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa definisi euthanasia?
2.      Bagaimana euthanasia menurut hukum diberbagai negara ?
3.      Bagaimana euthanasia didalam aspek agama ?
4.      Bagaimana euthanasia dari segi HAM ?

C.    Tujuan Pembahasan

1.      Untuk mengetahui definisi euthanasia
2.      Untuk mengetahui euthanasia menurut hukum diberbagai negara
3.      Untuk mengetahui euthanasia diadalam aspek agama
4.      Untuk mengetahui euthanasia dari segi HAM

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Euthanasia

Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani “eu” yang berarti “baik”, dan “thanatos”, yang berarti “kematian” .[2] Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.[3]
Kata euthanasia terdiri dari dua kata dari bahasa Yunani eu (baik) dan thánatos (kematian). Jadi secara harafiah euthanasia berarti mati yang layak atau mati yang baik (good death) atau kematian yang lembut. Beberapa kata lain yang berdasar pada gabungan dua kata tersebut misalnya: Euthanatio: aku menjalani kematian yang layak, atau euthanatos (kata sifat) yang berarti “mati dengan mudah“, “mati dengan baik” atau “kematian yang baik”. (K. Bertens, 2001)
Euthanasia adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan. (Ensiklopedia bebas, 2012).
Konsepsi Euthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan”. Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah mercy killing. Sementara itu menurut Kamus Kedokteran Dorland euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan disengaja.

B.     Euthanasia Menurut Hukum Diberbagai Negara

Sejauh ini euthanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta ditoleransi di negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia dan Swiss dan dibeberapa negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark.
·         Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan euthanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik euthanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal. Sebuah karangan berjudul “The Slippery Slope of Dutch Euthanasia” dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus euthanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan euthanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum.
·         Australia
Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang disebut “Right of the terminally ill bill” (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.
·         Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan euthanasia pada akhir September 2002. Para pendukung euthanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan euthanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan euthanasia di negara ini, namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan euthanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan “birokrasi kematian”.
Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi euthanasia (setelah Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika). Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya.
·         Amerika
Euthanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien terminal (pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya euthanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien).
Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental. Hukum juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999. Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya euthanasia.
·         Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa “membantu suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kepentingan diri sendiri.”
Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.
·         Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya (Britain’s Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan euthanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi euthanasia di Inggris melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor “kemungkinan hidup si bayi” sebagai suatu legitimasi praktik kedokteran.
Namun hingga saat ini euthanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda). Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical Association-BMA) yang secara tegas menentang euthanasia dalam bentuk apapun juga.
·         Jepang
Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang euthanasia demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah mengatur mengenai euthanasia tersebut. Ada 2 kasus euthanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai “eutanasia pasif” (shōkyokuteki anrakushi). Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai university pada tahun 1995 yang dikategorikan sebagai “euthanasia aktif ” (sekkyokuteki anrakushi).
Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu kerangka hukum dan suatu alasan pembenar dimana euthanasia secara aktif dan pasif boleh dilakukan secara legal. Meskipun demikian euthanasia yang dilakukan selain pada kedua kasus tersebut adalah tetap dinyatakan melawan hukum, dimana dokter yang melakukannya akan dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena keputusan pengadilan ini masih diajukan banding ke tingkat federal maka keputusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum sebagai sebuah yurisprudensi, namun meskipun demikian saat ini Jepang memiliki suatu kerangka hukum sementara guna melaksanakan euthanasia.
·         Republik Ceko
Di Republik Ceko euthanasia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai euthanasia dikeluarkan dari rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana Menteri Jiri Pospíšil bermaksud untuk memasukkan euthanasia dalam rancangan KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan ancaman pidana selama 6 tahun penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite hukum negara tersebut merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut dihapus dari rancangan tersebut.
·         India
Di India euthanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai larangan euthanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun berdasarkan aturan tersebut dokter yang melakukan euthanasia hanya dinyatakan bersalah atas kelalaian yang mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini hanyalah diberlakukan terhadap kasus euthanasia sukarela dimana sipasien sendirilah yang menginginkan kematian dimana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan euthanasia tersebut (bantuan euthanasia). Pada kasus euthanasia secara tidak sukarela (atas keinginan orang lain) ataupun euthanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman berdasarkan pasal 92 IPC.
·         China
Di China, euthanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Euthanasia diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama “Wang Mingcheng” meminta seorang dokter untuk melakukan euthanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun kemudian Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People’s Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya euthanasia atas dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan.



·         Afrika Selatan
Di Afrika Selatan belum ada suatu aturan hukum yang secara tegas mengatur tentang euthanasia sehingga sangat memungkinkan bagi para pelaku euthanasia untuk berkelit dari jerat hukum yang ada.
·         Korea
Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang euthanasia di Korea, namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi) yang di Korea dikenal dengan “Kasus rumah sakit Boramae” dimana dua orang dokter yang didakwa mengizinkan dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita sirosis hati (liver cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian menyerahkan berkas perkara tersebut kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan bahwa dokter tersebut seharusnya dinayatakan tidak bersalah. Namun kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy killing dalam arti kata euthanasia aktif.
Pada akhirnya pengadilan memutuskan bahwa “pada kasus tertentu dari penghentian penanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan euthanasia pasif, dapat diperkenankan apabila pasien terminal meminta penghentian dari perawatan medis terhadap dirinya.[4]
·         Indonesia

Berdasarkan hukum di Indonesia, maka euthanasia adalah sesuatu perbuatan yang melawan hukum. Hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa, "Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun". Bunyi pasal ini juga dikuatkan oleh pasal-pasal KUHP yang lain seperti Pasal 338, 340, 345, dan 359 yang secara isinya dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam menjelaskan perbuatan euthanasia dari sudut pandang hukum di Indonesia. Dengan demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun.

Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Farid Anfasal Moeloek, dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo, Selasa, 5 Oktober 2004, menyatakan bahwa Eutanasia atau ‘pembunuhan tanpa penderitaan’ hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. Ketua IDI juga menambahkan, "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP”.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur sesorang dapat dipidana atau dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati. Ketentuan pelangaran pidana yang berkaitan langsung dengan euthanasia aktif tedapat pada Pasal 344 KUHP. Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa alasan kuat untuk membantu pasien atau keluarga pasien mengakhiri hidup atau memperpendek hidup pasien, ancaman hukuman ini harus dihadapinya.

Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, ada beberapa pasal yang menyebutkan mengenai hal tersebut, yaitu:



Pasal 338 KUHP
“Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.”
Pasal 340 KUHP
“Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.”
Pasal 359 KUHP
“Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.”
Selanjutnya di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia, yaitu:

Pasal 345 KUHP
“Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain unutk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.”

Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa manusia dalam KUHP tersebut, maka dapatlah kita mengerti bahwa sebenarnya pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda) telah menganggap bahwa nyawa manusia sebagai miliknya yang paling berharga. Oleh sebab itu, setiap perbuatan  apapun motif dan macamnya sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan nyawa manusia akan dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara.
Adalah suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama, ras, warna kulit dan ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia Indonesia dijamin oleh undang-undang. Demikian halnya terhadap masalah euthanasia ini.

C.    Euthanasia Didalam Aspek Agama

a.         Agama Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia didasarkan pada ajaran tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma adalah suatu konsekuensi murni dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau batin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Akumulasi terus menerus dari “karma” yang buruk adalah penghalang “moksa” yaitu suatu kebebasan dari siklus reinkarnasi. Ahimsa adalah prinsip “anti kekerasan” atau pantang menyakiti siapa pun juga.
Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu sebab perbuatan tersebut dapat menjadi faktor yang mengganggu karena menghasilkan “karma” buruk. Kehidupan manusia adalah kesempatan yang sangat berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kelahiran kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada di dunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa waktu di mana seharusnya ia menjalani kehidupan. Misalnya, seseorang bunuh diri pada usia 17 tahun padahal dia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun. Maka selama 43 tahun rohnya berkelana tanpa arah tujuan. Setelah itu, rohnya masuk ke neraka untuk menerima hukuman lebih berat; kemudian kembali ke dunia (reinkarnasi) untuk menyelesaikan “karma”-nya terdahulu yang belum selesai dijalaninya.
b.        Agama Buddha
Agama Buddha sangat menekankan larangan untuk membunuh makhluk hidup. Ajaran ini merupakan moral fundamental dari Sang Buddha. Oleh karena itu, jelas bahwa euthanasia adalah perbuatan yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain itu, ajaran Budha sangat menekankan pada “welas asih” (“karuna”). Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha. Tindakan jahat itu akan mendatangkan “karma” buruk kepada siapa pun yang terlibat dalam tindakan euthanasia tersebut.
c.         Agama Islam
Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22:66; 2:243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, “Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS 2:195), dan dalam ayat lain disebutkan, “Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri,” (QS 4:29).
Euthanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (euthanasia), yaitu tindakan yang memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya euthanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.
Islam membedakan dua macam euthanasia, yaitu:
1.                   . Euthanasia positif
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa’al (euthanasia positif) ialah tindakan memudahkan kematian si sakit –karena kasih sayang– yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat). Euthanasia positif dilarang sebab tujuan tindakan adalah pembunuhan atau mempercepat kematian. Tindakan ini dikategorikan sebagai pembunuhan dan dosa besar.
2.                    Euthanasia negatif
Euthanasia negatif disebut taisir al-maut al-munfa’il. Pada euthanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan. Pasien dibiarkan begitu saja karena pengobatan tidak berguna lagi dan tidak memberikan harapan apa-apa kepada pasien. Pasien dibiarkan mengikuti saja hukum sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.
d.        Gereja Ortodoks
Gereja Ortodoks punya kebiasaan untuk mendampingi orang-orang beriman sejak kelahiran hingga hingga kematian melalui doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman dan pengharapan. Kehidupan hingga kematian dipandang sebagai suatu kesatuan kehidupan manusia. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat terhadap prinsip pro-kehidupan dan anti euthanasia.
e.        Agama Yahudi
Agama Yahudi melarang euthanasia dalam berbagai bentuk dan menggolongkannya ke dalam “pembunuhan”. Hidup seseorang bukanlah miliknya lagi melainkan milik dari Tuhan, sumber dan tujuan kehidupan. Walaupun dengan motivasi yang baik, misalnya mercy killing, euthanasia merupakan kejahatan karena melawan kewenangan Tuhan. Dasar yang dipakai adalah Kej 1:9, “Tetapi mengenai darah kamu, yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama manusia”.[5]

D.    Euthanasia Dari Segi HAM

Euthanasia erat kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM), yaitu hak dasar yang dimiliki sejak lahir. Pengertian HAM sendiri beragam, antara lain:
1.                    Menurut PBB, HAM adalah hak yang secara kodrati melekat pada manusia, yang apabila tidak ada, kita tidak akan hidup sebagai manusia.
2.                    Menurut Miriam Budiardjo, HAM adalah hak asasi yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersama dengan kelahirannya atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat.
3.                    Menurut Pasal 1 Angka 1 UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat.
4.                     
Salah satu dari isi HAM adalah menyangkut hak hidup. Di sini Euthanasia dianggap melanggar HAM, sebab bertentangan dengan hak hidup manusia karena dengan sengaja memperpendek kehidupan seseorang. Namun, dalam beberapa hal euthanasia juga dianggap sebagai perwujudan dari hak untuk menentukan diri sendiri. Dari sinilah mulai muncul pertikaian-pertikaian pendapat mengenai legal tidaknya euthanasia di suatu negara.

Dengan adanya Declaration of Human Rights, hanya ada hak untuk hidup. Hak untuk hidup merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar dan melekat pada diri manusia secara kodrat, berlaku universal dan bersifat abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, tetapi hak untuk mati belum ada pengaturannya, karena itulah euthanasia merupakan suatu tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia dan bertentangan dengan asas ketuhanan.

Pada prinsipnya, hak untuk hidup merupakan hak fundamental atau hak asasi dari setiap manusia. Konstitusi kita yakni UUD 1945 melindungi hak untuk hidup ini dalam Pasal 28A UUD 1945 yang menyebutkan bahwa, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Selain itu, pelaksanaan HAM tidak bebas secara mutlak karena dibatasi dengan kewajiban dan HAM orang lain.

BAB III
KESIMPULAN

            Euthanasia adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.

            Sejauh ini euthanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta ditoleransi di negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia dan Swiss dan dibeberapa negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark.

            Salah satu dari isi HAM adalah menyangkut hak hidup. Di sini Euthanasia dianggap melanggar HAM, sebab bertentangan dengan hak hidup manusia karena dengan sengaja memperpendek kehidupan seseorang. Namun, dalam beberapa hal euthanasia juga dianggap sebagai perwujudan dari hak untuk menentukan diri sendiri. Dari sinilah mulai muncul pertikaian-pertikaian pendapat mengenai legal tidaknya euthanasia di suatu negara


[1] Tarmizi Taher, “Medical Ethics”. (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 81
[2] Setiawan Budi Utomo, Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. (Jakarta: Gema Insani Press 2003). h., 177
[3] M.Ali Hasan,  Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. (Jakarta : RajaGrafindo Persada 1995). h., 145
[4] Fatmandia, Pandangan Etika Perundang – Undangan Tentang Euthanasia, Artikel ini diakses pada  17 Desember 2013 dari http://fatmanadia.wordpress.com/2012/09/02/pandangan-etika-dan-perundang-undangan-tentang-euthanasia/

[5] Ibid .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

blogwalking..