hujan

selalu ingin berbagi dengan anda semua

Jumat, 25 Mei 2012

BONG (cerpen favoritku)


CERPEN “BONG”

                Agustus telah berlalu.ini Mei. Tapi masih ada sisa – sisa kemeriahannya menggantung di atap – atap ngungun rumah – rumah tetannga. Ini Mei. Biasanya tak ada hujan dibulan Mei karena musim hujan berujung dibulan Maret. Tetapi, tahun ini hujan menggguyur setiap hari…..
                Aku tiba – tiba merasa pedih menatap semua itu dari balik kaca jendela kamar kontrakkanku yang gordennya terbuka setelah tadi sore reregan-nya yang dipasang dari rapia lepas dan belum sempat dibetulkan lagi. Lambaian lemah bendera – bendera kecil itu begitu murung dan dingin sedingin celana – celana basah anakku yang ku tiriskan di tali jemuran yang memanjang di ruang sumpek ini agar celana – celana itu cepat kering. Lihat, putriku yang berusia 1 tahun itu berbaring damai di sofa tepos dan kumal kami. Dan, disisinya didipan berkasur tipis, Bong, suamiku, berbaring tak berdaya oleh kanker paru – paru yang menggrogoti dadanya.
                Dari kaca jendela yang sama gerumbul daun – daun pohon yang rimbun di bawah gelap dan pekat langit malam dengan awan yang berat tampak seperti malaikat kematian yanga membayang dan menunggu.
                Merasa ngeri , segera ku lepaskan pandanganku dari sana dan mengalihkannya ke TV yang tengah menanyangkan berita karena Bong tiba – tiba berseru dengan suara lemahnya sambil menunjuk gambar di TV itu “Nis, Itu aku, aku….!”
                Menatap ke layar kaca di buffet di antara sesak buku – buku , sorot balik kehidupan Bong menjadi seperti nyata kembali di depan mata: gelombang demonstrasi di depan gedung DPR/MPR. Retetan tembakan. Gas air mata. Mahasiswa berhamburan. Kerusuhan. Penjarahan. Huru hara. Api. Api .

                Setiap kali peristiwa Mei 1998 itu diputar ditelevisi, Bong akan mengusap bekas luka di keningnya. Mungkin dengan rasa sakit yang tak akan terhapus, seperti bekas luka itu yang tak juga bisa dihapus. Karena telah turut mengubah dan mencipta sejarah. Setiap kali dokumen peristiwa Mei ditayangkan, wajah Bong yang ter close-up ketika dipukuli pentungan petugas menjadi cerita dan spirit tersendiri bagi kami. Tapi melihat wajahnya yang terclose-up itu saat ini, terasa ada yang mengiris – iris hatiku.
                Begitu jauh dan berbeda sosok Bong yang terlihat disana dengan keadaannya kini .  sosok yang begitu kuat dengan berbagai tempaan, enerjik, penuh keyakinan dan keberanian itu kini terbaring ringkih dan rapuh, meski aku tahu keyakinan dan keberanian yang sama tidak pernah dan tidak akan pudar dari jiwanya. Aku yakin dan berani bertaruh akan hal itu sebab aku sangat mengenal pribadinya mulai dari pertemuan pertama kami.

                Apakah jatuh cinta pada pandangan pertama itu hanya ada dalam lirik lagu – lagu sentimental? Ternyata tidak. Setidaknya bagiku .  aku jatuh cinta  pada laki – laki bertubuh kurus tapi cekatan, berkarakter wajah kuat dengan dahi menonjol dan berbentuk rahang yang menampakkan pribadi keras, bermata tajam di bawah garis alisnya yang runcing namun selalu merah seperti jarang tidur dan sikapnya selalu paling aneh di kelasku , pada pandangan pertamaku.
                Kami berada dalam ruang kuliah yang sama. Saat itu Bong membuat kegemparan dengan cara berpakaian yang mencolok mata sang dosen. Di Tengah para mahasiswa yang selurunya berpakaian rapi, hanya dia yang berkaos oblong dan berjeans. Bahkan , sepatu kets-nya agak terbuka ujung depannya dan tampak tambahn sol yang tidak rapi yang dia pakai dengan tidak peduli. Ia di usir dosen dari kelas karena penampilannya itu. “kampus ini mendidik calon guru, calon pendidik, Bung!” ujar sang dosen.
                Sebagai mahasiswa yang baru masuk perguruan tinggi itu dan mengikuti perkuliahan perkuliahan awal, tak ada seorang pun yang berani menentang perkataan dosen. Tapi sikap Bong, diluar dugaan kami. Bong dengan mantap berdiri sambil membawa kembali ransel besarnya menghampiri dosen itu dengan kepala tegak.
                 “baik. Saya akan keluar. Tapi harap Bapak tahu, tak ada kolerasi antara pakaian dengan kecerdasan dan kepribadian. Orang dengan kemeja rapi, dasi, atau jas mahal sekalipun, belum tentu kepribadian baik . banyak yang ternyata  koruptor. Tapi, jika Bapak lebih menghargai orang dari kulit luarnya, saya akan keluar.”
                Dosen kami merah padam menahan marah, “ Ini aturan !!! Keluar kamu!!” Bong dengan tidak peduli meninggalkan kelas.
                Demi Tuhan aku terkesima dan tergetar dengan kejadian itu. Aku gelisah karena seolah  ada yang disadarkan dari cara berpikir selama ini, sekaligus gelisah dengan sosok yang meletikkan kesadaran itu tanpa diduga – duga. Sepanjang malam setelah peristiwa itu dan seterusnya, sosok itu terus ada di pelupuk mataku dan membuat debaran tertentu di setiap  bertemu.
                Bukan satu atau dua kali masalah penampilan ini membuat Bong tidak di izinkan mengikuti perkuliahan. Dan kejadian – kejadian itu tak membuat Bong mengubah penampilannya . melihat sikapnya ini , oleh rasa penasaranku , oleh dorongan dari perasaanku yang selama ini ku pendam , dan oleh kekhawatiran akan nilai – nilai kuliahnya yang mungkin hancur akibat hal itu, aku bertanya akan sikapnya itu,
                “ aku kuliah bukan ngejar nilai. Aku kuliah untuk lebih paham kehidupan, dan bagaimana menjadi manusia. Bagiku itulah proses pembelajaran yang sebenarnya. Dan soal pakaian, bukan aku gak mau berpenampilan seperti yang mereka lembaga ini inginkan. Tapi aku ingin mereka mengerti esensi dari berpakaian. Bukan dengan cara berpikir yang permukaan dalam membikin aturan. Aku tak akan mengalah untuk prinsip yang kuyakini “
                Begitulah kekerashatian Bong. Kekerashatiannya itu malah membuat getaran – getaran di hatiku semakin dalam. Bahkan menjadi lebih dalam lagi setelah aku semakin tahu latar bekakang kehidupan Bong yang ku ketahui dari kegemparan berikutnya yang terjadi dikelas. Masih soal penampilan, dosen pertama yang ku ceritakan kembali mengusir Bong dari perkuliahan.  Bong saat itu tidak langsung keluar . Ia berdiri didepan kelas dengan ransel besarnya menghadap kearah kami tanpa   memperdulikan tatapan tajam sang dosen. Dengan suara dalam Bong berbicara pada kami.
                “kawan – kawan, saya berpakaian seperti ini bukan tidak ingin berpakaian rapi seperti kawan – kawan. Tapi lihat ini….” Bong mengeluarkan  isi ranselnya satu per satu: sikat gigi, sabun, handuk, sarung, beberapa pakaian dalam, satu potong kaos, dan buku – buku yang gulung gemulung menjadi satu  diransel itu.
                “saya tidak punya tempat kos.Ransel inilah kamar kos saya. Saya tidur dimana saja ada tenpat. Beratapkan langit sekalipun. Pukul tiga dini hari tadi angkot yang biasa saya keneki dicarter pedagang sayur hingga pukul tujuh  tadi. Saya harus mengeneki angkot itu dan tidak sempat ganti pakaian apalagi mandi untuk mengejar perkuliahan ini. Gosok gigi pun di  toilet gedung ini. Baju yang saya kenakan itulah yang saya punya. Tak punya yang lain. Orang tua saya buruh tani, kejam sekali kalu saya mengharapkan kiriman uang dari mereka.”
                Bong lalu menghadap kea rah dosen, “inilah realitanya, Pak. Silahkan Bapak mau menilai apa. Yang penting Bapak tahu ada realita seperti ini. Semoga Bapak mau turun dari menara gading Bapak dan melihat kenyataan ini.”
                Mata Bong berkaca – kaca mengucapkan kata – kata itu. Ketika Bong berlalu dari ruang kelas, aku pun tak mampu menahan air mata yang mulai jatuh. Sementara dosen kami diam terpaku.
                Aku yakin, Bong telah melampaui kami dengan sangat jauh dan cepat. Komentar – komentar dan pertanyaan kritisnya di kelas sering mengagetkan dan di luar jangkauan kami, teman seangkatannya . bacaan – bacaan Bong pun bagi kami terasa aneh. Contohnya, ketika kami masih berkutat dengan buku teks mengenai dasar – dasar pendidikan, Bong sudah membaca Paedagogy Of The Oppressed-nya Paulo Freire,  penulis Brazil yang model pendidikan yang ditawarkannnya dianggap  ancaman oleh pemerintahanya saat itu sehingga ia dipenjarakan, atau buku berisi gagasan  “Bebas dari Sekolahnya”- nya Ivan Illich. Ketika dosen kewiraan kami memeperingatkan tentang bahaya laten komunis, Bong justru membaca pemikiran Karl Maks.
                Bong banyak membaca buku – buku yang istilah – istilah dalam judulnya saja membuat kening kami berkerut. Saat tertentu ia membawa buu tentang totalitarianisme, saat lainnya tentang analisis – analisis gerakan politik, tentang kudeta, dll.  Novel, Cerpen, atau puisi yang kami baca bagi Bong sudah lewat . Ia sering memperlihatkan padaku karya – karya satra para pengarang dunia. Ketika kutanya dari mana ia memperoleh semua itu, Bong hanya menjawab “ada deecchh!!!” , tapi kemudian disambungnya , “ makanya, jadi mahasiswa yang cerdas dong. Jangan Cuma berkutat di kampus sendiri. Gaul! Disini kan banyak pusat – pusat kebudayaan : prancis, jepang, jerman, de el el yang ada perpus-nya, atau bursa – bursa buku. Lagian kawan kan gak harus yang seangkatan, sejurusan, atau sekapus saja. Aku banyak kawan di kampus – kampus lain, di unit – unit kegiatan mahasiswa, bisa share.”
                Tapi tidak itu saja, ternyata gairah membaca dan cara berpikir Bong yang berbeda dengan kami ini tertradisi sejak ia SMP di kota  kecilkelahirannya. Menurut cerita Bong, di SMP-nya ada seorang guru yang kritis yang memperkenalkan dan memperluas pandangan Bong dengan berbagai aliran pemikiran dan mewariskan tradisi kritis itu padanya. Kekerashatian Bong juga tampaknya tertempa dari interaksinya dengan guru tersebut. Keberanian guru tersebut keluar dari statusnya sebagai PNS akibat tidak puas dengan berbagai system di dalamnya menjadi bukti kekerashatian itu.
                Dengan latar belakangnya itu, tak mengherankan jika sikap dan komentar – komentar Bong di nilai keras  dan ekstrim. Dosen – dosen moderat dan progresif biasanya menaggapi komentar – komentar Bong dengan antusias dan bangga karena menemukan mahasiswa seperti itu. Lain dengan yang otoriter dan konservatif, jika mereka tidak menjawab dengan tergagap, mereka akan menyatakan pernyataan Bong tidak santun dan tidak mencerminkan masyarakat  akademis.
                Akan sikap – sikap Bong itu banyak yang tidak menyukai Bong, dan sedikit yang menyukai. Diantara yang sedikit itu antara lain itu aku. Perhatian – perhatian kecil yang ku tunjukkan padanya membuat kami menjadi dekat. Cara dan gaya hidup Bong menjadi cara dan gaya hidupku juga. Bersama Bong aku menemukan dunia yang lain dari yang selama ini  aku kenal. Bong sering menculikku untuk membolos dari perkuliahan dan mengenalkanku pada ruang – ruang yang di istilahkan Bong dengan “kuliah yang sebenarnya.” Dia mengajakku menelusuri lorong – lorong berbagai kampus yang ternyata memiliki banyak aktifitas yang seolah bergerak dibawah tanah, mengunjungi gedung – gedung pertunjukkan, pameran lukisan,hingga komunitas – komunitas jalanan. Teman – teman ku yang kuliah untuk mengejar prestasi berupa IPK tinggi menganggap apa yang kami lakukan sebagai kemalasan, ke sia – sia an. Setiap kali aku bersama Bong, mereka menatap dengan mata yang menghina pada Bong, seakan laki – laki itu sebuah kotoran, atau menatap benci seakan – akan dia seorang pemadat. Mereka menganggap laki – laki semacam Bong tidak punya masa depan.
                Masa depan. Tentang hal ini, menurutku tergantung pada apa yang kita maknai sebagai masa depan. Dalam pandanganku sendiri, Bong sedang menciptakan masa depan yang tidak disadari kawan – kawan dengan apa yang dilakukannya.
                Mengikuti aktivitas Bong dari hari ke hari menyadarkanku akan potensi kepeloporan Bong. Ternyata prediksiu benar di ormawa – ormawa yang dimasukinya, Bong selalu menjadi yang terdepan. Dia juga yang merintis terbitnya Koran mahasiswa dikampus kami. Di situ Bong mencurahkan pemikiran – pemikiran yang kritis, tajam, dan menyentuh. Pada saat itu juga, ia sudah membiayai hidup dari menulis di media massa umum.
                Gerakan – gerakan  kami di organisasi – organisasi mahasiswa ternyata merupakan riak – riak dari sebuah gelombang besar yang suatu saat akan meruntuhkan kekuasaan yang bercokol selama 32 tahun di tanah air ini. Sadar akan hal ini, bercermin dari sejarah bagaimana keruntuhan orde lama dari gerakan 66 terjadi dari suara – suara di Koran mahasiswa, Bong semakin mengoptimalkan peran Koran kampus kami. Kami bergerak seolah gerakan bawah tanah yang menyuarakan suara – suara reformasi lewat Koran kami.
                Riak – riak itu semakin membuncah di berbagai kota. Termasuk di kota kami. Saat itu aku begitu takjub dan terharu bagaimana gelombang massa mahasiswa bergerak di bawah orasi – orasi Bong. Riak it uterus bergulung. Bergulung menuju satu sasaran. Dan hari itu,,,,,, kami menangis terharu, sujud syukur, melempar apa saja yang bisa diempar sebagai luapan kegembiraan, berpelukan, bernyanyi, dan entah apa lagi, saat rezim itu akhirnya runtuh…..

                Selama kebersamaanku dengan Bong, tak pernah terucap kata cinta dari mulut kami. Tak ada kisah cinta dua sejoli. Tapi Bong tidak pernah main – main, termasuk untuk perasaannya terhadap perempuan.
                Dan inilah yang kemudian terjadi. Kami tengah berada di sebuah senja berangin deras dan tengah terburu – buru, berjalan seolah melesat melintasi  sebuah taman kota setelah berhasil mendapatkan buku yang lama kami cari – cari dari toko buku yang tak jauh dari taman itu. Langit ruyup dan daun – daun gugur dengan cepat ke atas tanah . orang – orang baru saja meninggalkan taman itu karna senjakala akan segera turun. Taman menjadi begitu misteri dengan pohon – pohon tuanya, seperti kakek renta yang kesepian tiba – tiba ditinggalkan anak – anak dan cucu – cucu yang barusan ramai menghangatkan perasaaannya.  Kami tetap berjalan melesat melintasi taman itu menuju halte bis. Bangku – bangku taman sedang kami lewati satu per satu ketika tiba - tiba Bong berhenti, menarik tanganku, dan membalikkan badanku ke arahnya. Aku terdiam tak mengerti apa yang dilakukannya. Dengan tatapan sungguh – sungguh Bong berkata, “ Nis, aku seorang gelandangan. Tapi aku ingin menikah denganmu. Aku tak perlu bertanya lagi soal cinta/tidak kau padaku. Aku sudah tahu sejak lama dari sorot matamu. Boleh aku ke rumahmu dan melamarmu? “
                 Aku tak mengelak untuk harapan yang kupupuk dan ku pendam sejak lama. Aku mengangguk, dalam.
                Tatkala aku mengangguk, aku sadar akan konsekwensi menikah dengan sosok seperti Bong. Aku akan terusir dari jalan hidup yang linier. Orang – orang mengatakan sosok seperti dia pemimpi. Dan, apa yang diharapkan dari seorang pemimpi? “jika benar dia seorang pemimpi, aku mengharapkan impian – impiannya. “ bukankah sesungguhnya kehidupan dibangun dari mimpi? Para pemimpilah yang membangun kehidupan ini.

                Peristiwa Mei 1998 telah mulai tenggelam dari televise seiring malam yang semakin dingin oleh gerimis. Gerimis itu mungkin juga tangis yang tak henti turun dihatiku melihat Bong membunyikan nyeri yang menyilet – nyilet paru – parunya. Dia ingin menunjukkan nyala dari semangat hidupnya padaku, sekalipun nyala itu semakin mengecil oleh sesuatu yang diluar jangkauan kemampuan manusia.
                Kami sedang menunggu teman sepergerakan kami dulu yang berjanji malam ini akan menengok Bong. Apakah binar nyala itu ada di hati Bong mengurangi sakit fisiknya dengan rencana kedatangan sahabatnya? Menatap wajah tirusnya, aku tak berhasil menemukan binar itu. Wajah Bong itu malah mengingatkanku lagi pada rasa kecewanya dulu setelah sadar gerakan mahasiswa di manfaatkan para elit politik untuk kepentingan kekuasaanya, dan rakyat di adu domba. Banyak dari teman – teman kami yang terjerat dalam lingkaran ini dan menikmatinya. Bong, jika mau, akan menikmati kekuasaan dan materi berlimpah jika bersedia berada di lingkaran itu. Tapi berbagai tawaran: sekolah ke luar negri, jabatan, kedudukan, dan segala yang menggiurkan itu, ditolak Bong.
                Bong memilih menjadi penulis lepas (biar independen, katanya). lewat tulisan – tulisannya dia dengan deras menyadarkan ketidak beresan itu. Bong juga pernah bergerak di LSM. Tapi ia tak bisa menerima sikap kawan – kawannya yang lebih memanfaatkan lembaga itu untuk kepentingan pribadi. “aku tak mau menjual penderitaan rakyat,” ujar Bong tatkala ia memutuskan mundur. Sejak itu, computer jangkrik kami yang terbeli dari hasil kemenangan novelku dalam sebuah sayembara, slalu menyala dan menghasilkan banyak tulisan. Tapi kini lebih sering terdiam sunyi sejak Bong digerogoti penyakitnya. Aku sendiri tak seproduktif Bong. Dan binar wajah Bong setiap melihat tulisannya dimuat semakin jarang kulihat. Aku mengharapkan binar itu muncul saat tamu kami akhirnya datang.
Teman kami datang dengan wajah segar. Pipinya tampak penuh. Perutnya memperlihatkan kemakmurannya. Disaku kemejanya yang licin tergantung kunci kendaraan pribadinya dan dua hp-nya selalu berdering. Kami mengobrol disela sahabat kami itu menjawab  panggilan - panggilan dari hp nya. Sesekali diselingi obrolan hangat tentang kawan – kawan kami, tentang talk-show yang kemarin kami saksikan di sebuah stasiun televisi yang menampilkan kawan yang jadi anggota DPRD, dll. Kami tertawa ketika sampai pada obrolan tokoh vocal dari sebuah ormawa di kampus kami dulu yang kini menyebrang sebagai pemain sinetron tanpa bekal pendidikan acting sedikit pun. 
“Bong,kau gak akan kayak  gini seandainya dulu kans kau jadi direktur di LSM kita tidak kau tolak. Oya, tadi juga kita baru rapat. Ada program kerja kita minggu depan,workshop peningkatan usaha kecil dan menengah dan taraf hidup penduduk miskin kota dihotel yang biasa kita booking itu. Nis,kau gabunglah sama kami, biar ada pemasukan buat dapur. Kasihan kan suamimu ini harus terbaring gak diobati?”  
Teman kami itu lalu mengeluarkan sebuah amplop cukup tebal “Bong,ini ada sedikit sisa dana kegiatan kami bulan lalu. Anggaplah ini sebagai rasa sayang dari kami. Kami ingin kau sembuh.”           Melihat amplop itu dan menghubungkannya  dengan kata-kata temannya, Bong mengurut dada, ada kepedihan di sana. Wajah pucatnya mengingatkanku lagi pada kata-kata Bong dulu ‘tak mau menjual penderitaan rakyat’. Bong menggeser amplop itu perlahan, “Makasih banyak.Maaf, aku tidak bisa menerima ini…. Sampaikan salamku pada kawan-kawan dan minta doanya untuk kesembuhanku”.
Entah apa yang ada dalam hati sahabat kami dengan penolakan Bong.Setelah tamu kami pulang,jari-jari kurus tangan Bong menggenggam tanganku seolah meminta keteguhan hatiku, dan terbisik “Kau  masih ingat filsafat lilin itu? Dia member cahaya pada kegelapan,sekalipun tubuhnya sendiri terbakar…..”
Aku menggigit bibirku. Batinku menjerit. Bong, akankah usiamu panjang ? jika kau terbakar dengan cepat,siapakah yang akan memberi terang? Dari malam ke malam,hidup semakin senyap.Aku tak mau melepaskan genggaman Bong……..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

blogwalking..