hujan

selalu ingin berbagi dengan anda semua

Senin, 31 Desember 2012

Wanita tulang rusukmu



 

" Wanita selalu akan mengembalikan yang lebih untuk pria. "
Jika kamu memberinya rumah, maka ia akan memberimu kehangatan dalam rumahmu.

Jika kamu memberinya beras, ia akan menanak nasi untukmu.

Jika kamu memberinya CINTA, ia akan memberimu pengabdian seumur hidupnya.

Tapi jika kau memberinya hinaan, ia akan memberimu doa dalam airmata kepedihannya, dan itu berarti siapkan dirimu untuk berjuta KEMALANGAN !"

Jika kemarin kamu berdoa dan yakin bahwa dialah wanita yg sudah terpilih untukmu, maka terimalah dia bukan hanya sebagai wanita yang sempurna tetapi terima lah dia dengan Cara Yang Sempurna , melainkan sebagai wanita yang terbaik .

bukanlah dia yang tidak pernah berbuat salah, tapi dia yang selalu berkata maaf untuk setiap kesalahannya dan ia yang punya sejuta maaf untuk kesalahanmu.

Ia yang mau menerima masa lalu mu dan siap merancangkan masa depannya bersamamu serta menyerahkan kehidupannya padamu.

Ia yang selalu cemas dan hilang akal ketika kamu tak memberinya kabar.

Jika dulu sifat manjanya membuatmu tertawa lucu, cemburunya berarti dia sayang padamu, airmatanya bisa menyayat hatimu, tapi sekarang semuanya itu jadi alasan kamu melepaskannya, maka merenunglah sejenak !

" Mengapa dalam berbagai legenda bahwa wanita itu tercipta dari tulang rusuk pria, bukan dari tulang kepala karena wanita bukan untuk memimpin pria, bukan dari tulang kaki karena wanita juga bukan alas kaki pria. Wanita tercipta dari tulang rusuk pria karena dekat dengan hati, agar wanita menjadi pendamping, penjaga hati.

Dekat dengan hati karena untuk disayangi
Wanita akan terlelap dalam dekapan pria. karena wanita tahu dari sana dia berasal.

Maka dari itu Kenali dan Sayangi “Tulang Rusukmu”
»»  To Be Continue...

I'm SHY



 



AKU MALU YA ALLAH...

Aku malu ya Allah... sering aku melupakan pijakan ku padahal bumi mu selalu setia pada porosnya

Aku malu ya Allah... sering kali aku tertegun melihat paras cantik wanita-wanita padahal bidadari yang kau janjikan jauh lebih cantik dari yang ada di dunia

Aku malu ya Allah... sering kali aku terlena dengan pekerjaan sia-sia... padahal Kau telah berjanji bahwa siapa saja yang m
engerjakan perbuatan baik sekecil apapun pasti ada balasannya

Aku malu ya Allah... ingin aku kuasai dunia-Mu padahal akhirat yang Kau janjikan tidak terbatas luasnya

Aku malu ya Allah... mengeluarkan shodaqoh 1000 saja hatiku terasa berat padahal engkau telah memberikan ni'mat-Mu sejak aku lahir sampai saat ini

Aku malu ya Allah... telah banyak kata yang keluar dari mulut ini padahal diam itu ada hikmahnya

ya Allah hamba-Mu yang lemah ini sedang bersedih atas rasa malu yang dirasakan, detik demi detik, hingga jam pus satu per satu kulalui, segala dosa telah aku lakukan sedangkan tidak sedikit perintah-Mu yang telah kulaksanakan hangus oleh rasa riya', sombong dan maksiat
masih pantaskah hamba-Mu mengeluh pada pagi ini...?
ya Allah... aku tidak pantas untuk menjadi penghuni surga-Mu
namun, aku juga tidak kuat jika harus tinggal dalam neraka-Mu
tuntun lah hamba ke jalan taubat
agar hamba dapat merasakan keindahan hidup setelah ini..

(jemput aku menjadi bidadarimu)
»»  To Be Continue...

Selasa, 04 Desember 2012

Jagalah Umi Seperti Abi Menjaga Nenek!!!





 Jagalah Umi Seperti Abi Menjaga Nenek!

Karya: Andini Zahra Adystia

Lembut angin mengelilingi setiap langkah kehidupanku, membuat semuanya seakan cepat berlalu. Langkah kecil menghampiriku, " Abi...!” begitulah teriak gadis kecilku. " Ada apa sayang ?" Aku membalasnya dengan pelukan dan sayang. " Nisa ingin bertemu nenek" ucapnya dengan nada memelas. " Iya Nisa, setelah sholat magrib ya sayang...!" jawabku menyetujui keinginannya. Seketika itu juga Nisa berlari menghampiri ibunya sembari berkata " Umi... Nisa akan bertemu nenek! " . Terlihat istriku tersenyum melihat tingkah Nisa. Senyuman yang selalu membuatku tenang. Aiyah adalah satu - satunya istri yang ku miliki, teringat disaat aku ingin meminangnya, dia memberiku beberapa persyaratan dan salah satunya " Berjanjilah untuk tidak menikah lagi setelah menikah denganku" .

Senja perlahan pergi, terlihat Nisa sudah berada di teras rumah. " Abi..! Umi...! Ayo... Jangan lama - lama aku sudah tidak sabar ingin bertemu nenek" aku dan istriku yang mendengarnya segera keluar dari rumah. " Iya sayang, sini umi gendong, Nisa sabar ya...  abi keluarkan mobilnya dulu!" kata istriku sembari menggendong Nisa. " Iya Nisa...! ingat hadist nabi... " belum sempatku meneruskan kata - kataku Nisa langsung berkata " Innaallaha ma' as shobiriin" . " loh itu Nisa sudah tahu.." sahut istriku. Memang, Nisa adalah anak yang cerdas dan tanggap tetapi untuk persoalan menunggu dia tidak sabar. " Iya tahu, abi setiap hari bilang begitu sama Nisa... Umi!" kata Nisa dengan nada jengkel. " Kenapa abi selalu bilang begitu, hayo..??" tanya istriku. " Iya Nisa yang salah karena tidak sabar" kata Nisa dengan tersenyum. Aku bersyukur kepada Allah karena telah mempercayai aku menjaga amanahNya yang berupa anak dan istri.

Sesampainya dirumah ibuku. Kami semua langsung menuju ruang keluarga, aku duduk termenung, dalam benakku berkata, oh ibu sungguh karna ridhomu dan tulus kasihmu, aku bahagia hidup di dunia. Akupun ingin mebuatmu bahagia. Namun aku tak tahu bagaimana aku harus membahagiakanmu. " Abi...melamun?" tanya Nisa sedikit mengejutkanku. " Tidak sayang..!"jawabku. " Abi, kenapa nenek tidak tinggal bersama kita saja?" tanya Nisa. " Iya sayang, abi sudah mengajak nenek untuk tinggal bersama kita, tetapi nenek tidak mau" . " kenapa?" Tanya Nisa lagi. " karena nenek lebih nyaman tinggal disini sayang!" kataku mencoba menjelaskan. Nisa mengangguk kan kepalanya beberapa kali seolah memikirkan sesuatu. Aku tahu, jawabanku tidak memuaskannya.

Ibu telah memasak makanan kesukaanku dan juga Nisa, Ayam dabu – dabu belanga namanya. Kami semua makan bersama, kehangatan keluarga yang benar – benar membuatku semakin bersyukur kepada Allah yang tak pernah berhenti mencurahkan rahmatNya kepada seluruh makhluqNya.

Jarum jam terlalu cepat berlari, membuat aku, Nisa dan istriku harus segera kembali kerumah. Jarak rumahku dengan rumah ibu memang tidak terlalu jauh hanya 20 menit ditempuh dengan mobil berkecepatan 50 – 60 rpm. Selama perjalan pulang, Nisa tertidur. “ Sayang, minggu depan tidak usah kerumah ibu!” kata istriku dengan nada datar. “ Iya sayang...!” jawabku dengan memutar setir 90 derajat ke arah barat untuk memasuki perumahan basmalah yang seluruh penghuninya beragama islam. “ Jangan iya – iya saja, aku ini serius!” sahut istriku. “ Sudah seriuskan tadi?” jawabku sedikit menekan nada bicara sekedar tuk meyakinkan istriku. Jawabanku membuat istriku terdiam sejenak lalu kembali berbicara hanya unuk sekedar mengatakan “ Aku ingin beli baju bersamamu, hanya itu!” . jawabannya membuatku mengerti, dia butuh perhatianku. Beberapa bulan ini aku memang sibuk dengan urusan kantor dan ibu yang sering sakit – sakitan meskipun hanya batuk atau demam tapi aku sangat menghawatirkan ibu. Kekhawatiranku membuatku rela tidak masuk kantor.

Gemercik hujan malam ini, membuatku kembali termenung. Oh ibu, malam ini terlalu dingin untukmu. Apakah selimut ibu mampu menghangatkan ibu? Ma’af ibu! Aku bukan anak yang baik. Dulu disaat hujan turun, ibu selalu menemani tidurku dan memelukku. Tapi sekarang, aku tak melakukan itu untuk ibu. Malam.... cepatlah berlalu. Mentari sapa ibuku dengan kehangatanmu.

Dingin pagi ini membuatku bangun lebih awal dari pada biasanya. Kulihat jam dinding yang masih setia berada dikamarku menunjukkan pukul 02.00 am. Segera kulangkahkan kaki menuju tempat wudu yang berada di depan kamar mandi. Istriku terlihat sangat letih, tak tega aku membangunkannya. Gerakan demi gerakan sholatku adalah shodaqohku untuk tiap tulang yang menyusunku, untuk tiap persendian yang membuatku bergerak, dan tiap tetes darah yang senantiasa mengalir dalam tubuhku.
Kenikmatan yang tak kan pernah bisa terhitung untuk di ganti. Ya Allah....! Ampuni dosaku, Ampuni aku yang sering lengah mengingatMu dan mengeluh.

            Aku baca tiap huruf dalam kalamMu, ku baca dengan berhati – hati, aku takut mengubah arti dari tiap kalimat yang ada didalamnya apabila aku salah mengucapkannya. Sejuk terasa hati ini, ketenangan jiwa yang aku dapatkan, sungguh Alquran pengobat hati.

Subuh datang, dengan berat ku ucapkan “ shodaqoallahul adzim...”. Segera ku bangunkan istriku dan juga Nisa. Aku dibumi diciptakan sebagai laki – laki, seseorang yang di takdirkan untuk menjadi imam dalam kelurga, bukan hanya sekedar imam dalam sholat. Tetapi juga imam dalam setiap detik nafasku. Aku akan selalu bersabar, agar istri dan anakku juga bersabar. Aku akan selalu tersenyum, agar istri dan anakku juga tersenyum. Aku akan selalu bersyukur, agar istri dan anakku juga bersyukur. Aku akan selalu mencintai mereka, agar mereka juga mencintaiku.

Tepat pukul 7 pagi, telfon genggamku berdering tanda panggilan masuk.
“ Assalammualaikum..!” kata kak Rofi.
“ Wa’alaikumsalam..! ada apa kak?” jawabku.
“ Cepat kamu ke rumah ibu. Ibu sakit, tadi ibu menelfonku.” Kata kak Rofi dengan nada terburu – buru.
“ Kenapa ibu tak menelfonku?”  tanyaku kecewa.
“ Tadi, aku juga tanya seperti itu kepada ibu. Katanya, takut mengganggumu. Padahal aku mau ada meeting penting. Jadi ya, aku telfon kamu saja.” Kata kak Rofi menjelaskan
“ Baiklah, kak! Kakak tenang saja. Aku akan langsung kerumah ibu” jawabku datar.
“ Ya. Sudah cepat! Assalammualaikum!” sahut kak Rofi mengakhiri percakaan kita.
“ Wa’alaikumsalam..!” jawabku.

            Aku putuskan untuk tidak sarapan dan lansung kerumah ibu. Istriku hanya diam saja dan mengantar Nisa sendiri. Aku merasa tidak enak dengan istriku, tetapi ibu lebih membutuhkanku. “ Assalammualaikum..!” kataku sambil mengetuk pintu. Ku ulangi beberapa kali. Tetap tak ada jawaban. “ Bismillahirohmannirrohim..!” kataku dengan yakin dan mendobrak pintu sekuat tenaga. Alhamdulillah pintu terbuka, ku percepat langkahku menuju kamar ibu. Namun, tak ada ibu disana. Aku lihat pintu kamar mandi terbuka, “ Astagfiruallah... ibu..!!!” kataku dengan nada terkejut. Ibu tergeletak dilantai kamar mandi. Aku langsung membawanya kerumah sakit.

            Beberapa hari ibu tak sadarkan diri dirumah sakit, selama itu juga aku menjaganya. Aku akan menjaga ibu sampai kapanpun. Aisyah istriku, dia menyuruhku pulang. Aku menolaknya, aku akan tetap dirumah sakit sampai ibu sembuh. Semua kegiatan ku lakukan dikamar ini, kamar dimana ibu di rawat.

            Dalam satu bulan ini aku sudah 7  kali izin tak masuk kantor. Seringnya aku izin membuat atasan dan karyawan yang lain gerah. Aku memilih mengundurkan diri dari perusahaan. Aku juga sudah memikirkannya matang – matang, aku memiliki beberapa usaha dibidang pertanian dan juga industri. Ku rasa hasil dari keduanya cukup untuk kebutuhan bulanan. Istriku kecewa denganku, di menganggap tindakanku terlalu gegabah. Dia bilang aku salah. Mungkin memang aku salah. Tapi aku tak bisa membiarkan ibu sendiri. Kakak – kakakku sibuk dengan pekerjan dan rumah tangga masing – masing. Lalu siapa yang akan menjaga ibu kalau bukan aku?.  Istriku tak mau mengerti, namun aku membiarkannya. Dan berharap suatu saat dia mau mengerti.

           

`Hari ini ibu sudah sadar, dan diperbolehkan pulang. Namun kaki ibu lumpuh karena syaraf tulang belakang terganggu akibat jatuhnya ibu di kamar mandi waktu itu. Aku membawa ibu kerumahku. Tampak istriku tak senang. Aku tak menyalahkannya, mungkin ini semua memang salahku terlalu memanjakannya.
           
Ibu memang tak pernah betah tinggal di rumah orang lain. Meskipun itu rumah anaknya sendiri. Ibu minta pulang kerumahnya, akupun mengantarkannya dan menginap disana. Adzan subuh berkumandang, ibu ingin sholat berjamaah. Aku menggendongnya sekedar untuk berwudhu lalu berjama’ah bersama. Jam 7 pagi aku pulang untuk mengantarkan Nisa ke sekolah. “  Abi... bagaimana dengan nenek?” tanya Nisa sedih. “ Abi akan selalu menjaga nenek. Jadi Nisa tak perlu khawatir..!” jawabku.
“ Abi... kenapa umi tidak mau bicara dengan abi?” tanya Nisa semakin sedih. “ Bukannya umi tak mau bicara dengan abi, tetapi memang tak ada yang perlu dibicarakan sayang...!” jawabku mencoba tak membuat Nisa sedih.

            Jam 9 aku kerumah ibu, saat aku mencium tangannya ibu bertanya “ Kamu siapa nak?”. Ibu memang sudah cukup tua, wajar saja ibu sering lupa. Tetapi mengapa kali ini ibu tidak mengenaliku? Ah, sudahlah. Kata dokter itu biasa terjadi pada setiap orang yang lanjut usia. “ Aku Amir ibu... Anak terakhir ibu!” jawabku mencoba mengingatkan. “ Oh.. Amir...! bagaimana dengan kuliahmu?” tanya ibuku. Ya Allah, ibu lupa kalau aku sudah berkeluarga dan telah lulus kuliah beberapa tahun yang lalu. “ Ibu... Amir sudah menikah dan punya anak!” jawabku. “ Ibu tidak memasak, ibu tadi makan bubur yang ada di meja makan saja.” Kata ibuku tanpa menanggapi kata – kataku.

            Ibu mendapat undangan untuk menghadiri pengajian akbar hari kamis malam. Tetapi ibu terus memaksaku untuk mengantarkannya sekarang. “ Ibu... hari ini masih hari rabu, pengajiannya kan hari kamis?” kataku mencoba menjelaskan. Tetap saja ibu memintaku mengantarnya. Aku tak bisa berbuat apa – apa. Aku turuti saja kemauan ibu. Saat aku mengambil kursi rodanya karena memang jarak rumah ibu kemasjid tempat akan dilaksanaknnya pengajian tidak terlalu jauh. Hanya berada diblok K, dan rumah ibu berada di blok A.

            “ Tidak.. aku tidak ingin duduk dikursi itu. Gendong saja aku. Nanti aku duduk di kursi yang sudah di sediakan panitia” kata ibuku. Ya Allah, aku tak tahu lagi harus bagaimana membahagiakan ibu. Semoga dengan ku turuti semua keinginannya sudah membuatnya bahagia, meski ku tahu itu saja belum cukup. Aku gendong ibu dengan perasaan haru dan bahagia. Dulu aku yang digendongnya dan di ajak kemana – mana. sekarang aku bisa menggendong ibu meskipun hanya untuk ke masjid. Terlihat ibu tersenyum bahagia saat aku menggendongnya. “ Ibu..! aku mencintaimu” kataku. “  Cinta ibu ke kamu lebih besar dari pada cinta kamu ke ibu!” jawab ibu tersenyum. “ Tidak ibu, aku ingin mencintaimu lebih besar lagi..!” jawabku membela diri. “ ya sudahlah, ibu mengalah... cintamu yang lebih besar!” kata ibu dengan sedkit tertawa. “ Bukan begitu maksud Amir... “ jawabku lagi, masih dengan menggendong ibu menuju masjid. “  Lalu bagaimana?” tanya ibu. “ Cinta ibu kepadaku sangatlah besar. Tetapi aku  akan selalu berusah mencintai ibu lebih besar lagi dari pada hari ini!” jawabku.
           
Perjalanan malam ini adalah perjalan yang terindah sepanjang hidupku, percakaan kami, membuat aku tak merasakan lelah, bahkan aku masih ingin menambah jarak menuju masjid untuk tetap berbicara dengan ibu. “ Mengapa masjid sepi ya? “ tanya ibu. “ Masjid penuh dengan malaikat. Ibu..!” jawabku sambil tersenyum. “Ambil alquran itu Amir....! Ibu ingin mendengar kamu mengaji!” kata ibu sambil menunjuk sudut masjid tempat Alquran tertata rapi. Segera aku ambil satu alquran untuk kubaca. Ku lantunkan tiap lafadh surat Al – Alaq, ku rasakan suasana yang sangat berbeda, lebih mencekam, mengingatkanku kepada peristiwa ketika nabi Muhammad menerima wahyu yang pertama kali, tepat 17 ramadhan melalui malaikat jibril di gua hiro’.

            Selesai mengaji, ibu mengajakku pulang. Kembali ku gendong ibu. Di tengah perjalan ibu bertanya “ Amir, anakku..! Apakah kamu lelah menggendong ibu? “ . “ Tidak ibu...! tidak sama sekali. “  jawabku. “ Kenapa?” tanya ibu lagi. “ Karena aku bahagia ibu....!” jawabku. Ibu hanya tersenyum. Sesampainya dirumah ibu langsung tidur.

            Ke esokkanya, setelah sholat shubuh, ibu mengajakku ke pasar. Dan menemaninya memasak. Tepat jam 7 semuanya selesai dan ibu menyuruhku membawa makanan itu kepada Nisa. Aku sangat bersyukur, pagi ini ibu tidak lupa dengan Nisa. Seperti biasanya, aku pulang kerumahku dan mengantarkan Nisa ke sekolah. Setelah mengantar Nisa, aku tidak langsung kembali ke rumah ibu. Aku ingin bertemu istriku.

            Aisyah hanya diam saja, seoalah tak mengaharapkan aku datang. “ Umi... ma’afkan abi!” kataku menyadari kesalahanku yang kurang perhatian padanya bahkan nyaris tak ku perhatikan dalam satu bulan terakhir ini. “ Simpan saja kata ma’afmu Amir!” jawabnya datar namun sangat menusuk hatiku. “ Ku harap kamu mengerti... Ibu membutuhkanku!” sahutku. “ Tidak. Aku tidak mengerti. Aku rasa kamu sudah tidak mencintaiku lagi. Kau habiskan waktumu bersama ibumu.” Kata istriku dengan nada tinggi. “ Aisyah....! ma’afkan aku. Aku sangat mencintaimu tetapi aku akan tetap menjaga ibu” kataku.

            Waktu cepat berlalu sudah beberapa bulan aku seperti ini, tepat ketika aku menjemput Nisa, “ Abi...! kapan abi tinggal dirumah seperti dulu?” tanya Nisa. “ Setelah nenek sembuh Nisa!” jawabku. “ Iya, tapi kapan?” tanya Nisa lagi. “ Nisa dengarkan abi!. Jagalah umi seperti abi menjaga nenek, Nisa mengerti sayang?” kataku. “iya abi, Nisa mengerti!” jawab Nisa meyakinkan.

           
Setelah aku menjemput Nisa aku pulang ke rumah. “Dimana Aisyah?” batinku.Entahlah dimana dia, padahal aku ingin mengajaknya bertemu ibu. “Istriku, tidakkah kau ingin menjenguk ibu?” batinku lagi. Ku lihat telfon genggam milik istriku berada dimeja. Mungkin dia tidak pergi jauh, oleh karena itu dia tak perlu membawa telfon genggamnya. Tiba – tiba telfon genggamnya berdering tanda sms masuk. Ku hampiri dan ku buka : “ Sayang, kamu dimana? Aku sudah berada di taman kota, dekat air mancur!”. Ku baca sms itu perlahan dan ku lihat siapa pengirimnya. Ternyata Sahrul, iya, Sahrul teman sekantorku dulu. Seseorang laki – laki yang telah lama menyukai istriku. Ini semua salahku, aku tak memperhatikan istriku, aku tak dapat sepenuhnya menyalahkan istriku.

Sekedar untuk berjaga – jaga, aku menelfon kakakku untuk hari ini saja menemani ibu. Dan aku pergi ke taman kota untuk memantau istriku. Taman kota hari ini cukup ramai, terlihat wanita dengan baju long dress berwarna pink duduk disamping Sahrul. Tertawa bercanda bersama. Aku hanya melihatnya dari kejauhan, aku bahagia istriku merasa bahagia meski bukan karena diriku. Tetapi tak dapat ku pungkiri, hati ini sakit, Ya Allah. Aisyah istriku, semoga ini semua hanya ke khilafanmu. Aku sangat mencintaimu sayang!.

 Aisyah merasa ada yang memperhatikan gerak geriknya. Dia mencari sepasang mata yang memperhatikannya. Dan dia melihatku, aku hanya tersenyum. Sahrul terlihat gugup, dan pergi meninggalkan istriku. Lalu Aisyah menghampiriku. “ Amir...!” dia menyebut namaku. “ Iya, istriku! Aku Amir suamimu!” jawabku dengan tersenyum menahan sakit hati ini. Aku meraih tangannya dan mengajaknya pulang. Sesampainya dirumah aku menyuruhnya sholat duha berjama’ah denganku. Selesai sholat duha, Aisyah meminta ma’af kepadaku. Dia menangis, aku mengusap air matanya. “ Aisyah mengapa kamu menangis?” tanyaku padanya. “  Aku bersalah...!” jawabnya. “ Bersalah kepada siapa?” tanyaku lagi. “ Padamu, suamiku!” jawabnya lagi. “ Tidak Aisyah, kamu tidak bersalah padaku, aku sangat mencitaimu!”  jawabku lagi.

Telfon genggamku berdering, kakakku menelfonku. Dia bilang kalau ibu ingin bertemu aku, Aisyah dan Nisa. Aku dan Asiyah segera menjemput Nisa yang masih berada disekolah. Sesampainya di rumah ibu. Aisyah menangis dan meminta ma’af kepada ibuku. Semua kakakku juga berada dirumah disana. Semuanya berkumpul atas permintaan ibu. Ada apa ini? hatiku merasa tidak enak. Aku genggam tangan ibu, seakan enggan melepaskannya. Ibu tersenyum padaku. Dan berkata, “ Aku menyayangi semua anak – anakku, tetapi ma’afkan ibu! Ibu lebih menyayangi Amir”. Aku menangis dengan memeluk ibu. Lalu ibu berkata lagi “ Amir, ibu sudah lelah. Aisyah! temani Amir, besabarlah dengan kekurangannya!” . ya, Allah....! ada apa dengan ibu? Mengapa ibu berkata seperti ini.

Terdengar lantunan ayat suci alquran menari – nari di udara, tangan ibu menggenggamku sejenak, lalu perlahan lemas, sembari mengucapkan dua kalimat syahadat. Kini aku tahu ibu telah lelah berada di dunia, ibu ingin segera menghadap sang ilahi. Kakakku segera kemasjid untuk mengumumkan kepergian ibu. Tepat selesai sholat jumat ibu di sholati oleh seluruh jama’ah sholat jumat. Ku antarkan ibu ke tempat peristirahatan terakhir. Ku gendong ibu untuk yang terakhir kalinya, memasuki pintu alam barzakh.

Kau lah ibuku! cinta kasihku, terimakasih ku tak kan pernah terhenti, meski sekarang kita berada di alam yang berbeda. Pengorbananmu tak kan pernah terganti.  Kau bagai matahari yang selalu bersinar, sinari hidupku dengan kehangatanmu. Selembut sutra kasihmu kan selalu ku rasa dalam suka dan duka, karena kaulah ibuku.
»»  To Be Continue...
blogwalking..