Apakah cinta
pernah salah memilih kekasihnya? Aku selalu berharap tidak pernah. Dan
sepertinya, memang tidak pernah. Cinta mempunyai daya saling tarik, ketika
menemukan takdir kasihnya. Maka ketika dua kutub itu saling mendekat, ada
perasaan nyaman, tenteram, dan dunia seolah berputar lambat, angin berhembus
pelan, dan dedaunan yang jatuh sangat pelan.
Bukan wanita
yang membuat derita, melainkan mencintai wanita yang tidak mencintaimulah yang
akan menciptakan derita bagimu. (Muhammad Idris Asy Syafi’i)
Cinta tak
pernah salah memilih. Walau seringkali kita berucap lirih, walau kerapkali kita
sering bergumam pelan, dan menanyai diri sendiri, mengapa kita mencintainya.
Entah karena apa. Kita tak mengerti. Tapi begitulah cinta. Ia seolah mempunyai
kehidupan sendiri, yang kita tak mengerti aksi-aksinya. Ia seolah mempunyai
jiwa sendiri, yang kita tak mengerti apa yang menjadi perasaanya. Tahu-tahu,
kita ikut tertartik dalam medan aksi dan medan perasaannya. Medan aksinya
membungahkan wajah ceria dan senyum yang tahu-tahu kita sunggingkan sendiri
tanpa mengerti sebabnya, sedangkan medan perasaan menggelorakan ruang jiwa
bergemuruh kencang tak karuan.
“Cinta tidak
menjadikan bumi ini beredar, tetapi dengan cintalah peredaran bumi menjadi amat
bermakna.” (Cleopatra)
Ah, cinta
memang tak pernah salah memilih. Karena kita tercipta berpasang-pasangan. Untuk
berangkulan saling menenangkan. Untuk menceriakan saling menggembirakan. Untuk
menemukan kepingan-kepingan hidup yang saling melengkapi gambar utuh kehidupan.
Kita pegang satu sudut gambar, dan ada pribadi lain yang memegang satu sudut
gambar yang lain. Kita kemudian bertemu, dan semua itu terrangkum dalam kata:
cinta.
“…Setiap
hati mendamba hati lain, hati yang bisa diajak untuk bersama-sama mereguk madu
kehidupan dan menikmati kedamaian sekaligus melupakan penderitaan hidup…” (penggalan
surat Kahlil Gibran kepada May Ziadah, 1-3 Desember 1923)
Cinta tak
pernah salah. Yang salah, adalah ketika kita tak mengerti apa mau cinta. Cinta
tak pernah salah. Yang salah, adalah ketika kita memaksa cinta untuk menjauhi
kekasihnya. Ah, sudahlah. Ada jumpa, ada pisah. Ada sumringah, ada gemuruh.
Semua pun berpasangan. Kala badai menghampiri, kala cinta kita diuji, itu
adalah ruang bukti, sejauhmana cinta ini benar-benar murni. Ada banyak
kelebihan pada sang kekasih, tapi mengapa kita harus melihat sisi kurangnya.
Ada banyak mawar pada dirinya, tapi mengapa kita harus memperhatikan duri di
batangnya.
“Aku ingin
mencintaimu dengan sederhana… seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu… Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…
seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya
tiada…” (Supardijokodamono)
Cinta, tak
memerlukan ruang-ruang janji gombal yang membuatnya mabuk dengan rayuan. Cinta
memerlukan ruang bukti kasih sayang. Berilah ia bunga, dengan sebuah ketulusan,
dan berjanjilah untuk menjaganya. Menjaganya di setiap apa saja. Saat ia
tenang, saat ia gembira, saat ia terlara, saat ia tengah mati-matian meredam
segala kepedihan atas musibah yang menimpanya. Ini satu sudut gambar kehidupan
yang harus terus kita tauteratkan.
“…pabila
cinta memanggilmu… ikutilah dia walau jalannya berliku-liku… Dan, pabila
sayapnya merangkummu… pasrahlah serta menyerah, walau pedang tersembunyi di
sela sayap itu melukaimu…” (Kahlil Gibran)
Cinta,
adalah ruang di mana butuh banyak sekali pengorbanan dan pembuktian. Jika
rayuan kita sakti, maka pembuktian akan kesetiaan harus lebih sakti. Jika
gombal kita membuatnya terlena. Maka menjagainya selalu harus menjadikannya
nyaman dan tenang.
“Jangan
menangis, kekasihku… Janganlah menangis dan berbahagialah, karena kita diikat
bersama dalam cinta. Hanya dengan cinta yang indah… kita dapat bertahan
terhadap derita kemiskinan, pahitnya kesedihan, dan duka perpisahan…” (Kahlil
Gibran)
Ah, cinta memang tak pernah salah. Walaupun ia
pernah salah sekalipun. Akan kumaafkan ia. Karena aku tahu, cinta adalah
perpaduan pelangi dan keajaiban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar