CERPEN “BONG”
Agustus telah berlalu.ini Mei.
Tapi masih ada sisa – sisa kemeriahannya menggantung di atap – atap ngungun
rumah – rumah tetannga. Ini Mei. Biasanya tak ada hujan dibulan Mei karena
musim hujan berujung dibulan Maret. Tetapi, tahun ini hujan menggguyur setiap
hari…..
Aku tiba – tiba merasa pedih
menatap semua itu dari balik kaca jendela kamar kontrakkanku yang gordennya
terbuka setelah tadi sore reregan-nya yang dipasang dari rapia lepas dan belum
sempat dibetulkan lagi. Lambaian lemah bendera – bendera kecil itu begitu
murung dan dingin sedingin celana – celana basah anakku yang ku tiriskan di
tali jemuran yang memanjang di ruang sumpek ini agar celana – celana itu cepat
kering. Lihat, putriku yang berusia 1 tahun itu berbaring damai di sofa tepos
dan kumal kami. Dan, disisinya didipan berkasur tipis, Bong, suamiku, berbaring
tak berdaya oleh kanker paru – paru yang menggrogoti dadanya.
Dari kaca jendela yang sama
gerumbul daun – daun pohon yang rimbun di bawah gelap dan pekat langit malam dengan
awan yang berat tampak seperti malaikat kematian yanga membayang dan menunggu.
Merasa ngeri , segera ku
lepaskan pandanganku dari sana dan mengalihkannya ke TV yang tengah
menanyangkan berita karena Bong tiba – tiba berseru dengan suara lemahnya sambil
menunjuk gambar di TV itu “Nis, Itu aku, aku….!”
Menatap
ke layar kaca di buffet di antara sesak buku – buku , sorot balik kehidupan
Bong menjadi seperti nyata kembali di depan mata: gelombang demonstrasi di
depan gedung DPR/MPR. Retetan tembakan. Gas air mata. Mahasiswa berhamburan.
Kerusuhan. Penjarahan. Huru hara. Api. Api .
Setiap kali peristiwa Mei 1998
itu diputar ditelevisi, Bong akan mengusap bekas luka di keningnya. Mungkin
dengan rasa sakit yang tak akan terhapus, seperti bekas luka itu yang tak juga
bisa dihapus. Karena telah turut mengubah dan mencipta sejarah. Setiap kali
dokumen peristiwa Mei ditayangkan, wajah Bong yang ter close-up ketika dipukuli
pentungan petugas menjadi cerita dan spirit tersendiri bagi kami. Tapi melihat
wajahnya yang terclose-up itu saat ini, terasa ada yang mengiris – iris hatiku.
Begitu
jauh dan berbeda sosok Bong yang terlihat disana dengan keadaannya kini . sosok yang begitu kuat dengan berbagai
tempaan, enerjik, penuh keyakinan dan keberanian itu kini terbaring ringkih dan
rapuh, meski aku tahu keyakinan dan keberanian yang sama tidak pernah dan tidak
akan pudar dari jiwanya. Aku yakin dan berani bertaruh akan hal itu sebab aku
sangat mengenal pribadinya mulai dari pertemuan pertama kami.
Apakah jatuh cinta pada
pandangan pertama itu hanya ada dalam lirik lagu – lagu sentimental? Ternyata
tidak. Setidaknya bagiku . aku jatuh
cinta pada laki – laki bertubuh kurus
tapi cekatan, berkarakter wajah kuat dengan dahi menonjol dan berbentuk rahang
yang menampakkan pribadi keras, bermata tajam di bawah garis alisnya yang
runcing namun selalu merah seperti jarang tidur dan sikapnya selalu paling aneh
di kelasku , pada pandangan pertamaku.
Kami berada dalam ruang kuliah
yang sama. Saat itu Bong membuat kegemparan dengan cara berpakaian yang
mencolok mata sang dosen. Di Tengah para mahasiswa yang selurunya berpakaian
rapi, hanya dia yang berkaos oblong dan berjeans. Bahkan , sepatu kets-nya agak
terbuka ujung depannya dan tampak tambahn sol yang tidak rapi yang dia pakai
dengan tidak peduli. Ia di usir dosen dari kelas karena penampilannya itu.
“kampus ini mendidik calon guru, calon pendidik, Bung!” ujar sang dosen.
Sebagai mahasiswa yang baru
masuk perguruan tinggi itu dan mengikuti perkuliahan perkuliahan awal, tak ada
seorang pun yang berani menentang perkataan dosen. Tapi sikap Bong, diluar
dugaan kami. Bong dengan mantap berdiri sambil membawa kembali ransel besarnya
menghampiri dosen itu dengan kepala tegak.
“baik. Saya akan keluar. Tapi harap Bapak
tahu, tak ada kolerasi antara pakaian dengan kecerdasan dan kepribadian. Orang
dengan kemeja rapi, dasi, atau jas mahal sekalipun, belum tentu kepribadian
baik . banyak yang ternyata koruptor.
Tapi, jika Bapak lebih menghargai orang dari kulit luarnya, saya akan keluar.”
Dosen kami merah padam menahan
marah, “ Ini aturan !!! Keluar kamu!!” Bong dengan tidak peduli meninggalkan
kelas.
Demi Tuhan aku terkesima dan
tergetar dengan kejadian itu. Aku gelisah karena seolah ada yang disadarkan dari cara berpikir selama
ini, sekaligus gelisah dengan sosok yang meletikkan kesadaran itu tanpa diduga
– duga. Sepanjang malam setelah peristiwa itu dan seterusnya, sosok itu terus
ada di pelupuk mataku dan membuat debaran tertentu di setiap bertemu.
Bukan satu atau dua kali masalah
penampilan ini membuat Bong tidak di izinkan mengikuti perkuliahan. Dan
kejadian – kejadian itu tak membuat Bong mengubah penampilannya . melihat
sikapnya ini , oleh rasa penasaranku , oleh dorongan dari perasaanku yang
selama ini ku pendam , dan oleh kekhawatiran akan nilai – nilai kuliahnya yang
mungkin hancur akibat hal itu, aku bertanya akan sikapnya itu,
“ aku kuliah bukan ngejar nilai.
Aku kuliah untuk lebih paham kehidupan, dan bagaimana menjadi manusia. Bagiku
itulah proses pembelajaran yang sebenarnya. Dan soal pakaian, bukan aku gak mau
berpenampilan seperti yang mereka lembaga ini inginkan. Tapi aku ingin mereka
mengerti esensi dari berpakaian. Bukan dengan cara berpikir yang permukaan
dalam membikin aturan. Aku tak akan mengalah untuk prinsip yang kuyakini “
Begitulah kekerashatian Bong.
Kekerashatiannya itu malah membuat getaran – getaran di hatiku semakin dalam.
Bahkan menjadi lebih dalam lagi setelah aku semakin tahu latar bekakang
kehidupan Bong yang ku ketahui dari kegemparan berikutnya yang terjadi dikelas.
Masih soal penampilan, dosen pertama yang ku ceritakan kembali mengusir Bong
dari perkuliahan. Bong saat itu tidak
langsung keluar . Ia berdiri didepan kelas dengan ransel besarnya menghadap kearah
kami tanpa memperdulikan tatapan tajam
sang dosen. Dengan suara dalam Bong berbicara pada kami.
“kawan – kawan, saya berpakaian
seperti ini bukan tidak ingin berpakaian rapi seperti kawan – kawan. Tapi lihat
ini….” Bong mengeluarkan isi ranselnya
satu per satu: sikat gigi, sabun, handuk, sarung, beberapa pakaian dalam, satu
potong kaos, dan buku – buku yang gulung gemulung menjadi satu diransel itu.
“saya tidak punya tempat
kos.Ransel inilah kamar kos saya. Saya tidur dimana saja ada tenpat. Beratapkan
langit sekalipun. Pukul tiga dini hari tadi angkot yang biasa saya keneki
dicarter pedagang sayur hingga pukul tujuh
tadi. Saya harus mengeneki angkot itu dan tidak sempat ganti pakaian
apalagi mandi untuk mengejar perkuliahan ini. Gosok gigi pun di toilet gedung ini. Baju yang saya kenakan
itulah yang saya punya. Tak punya yang lain. Orang tua saya buruh tani, kejam
sekali kalu saya mengharapkan kiriman uang dari mereka.”
Bong lalu menghadap kea rah
dosen, “inilah realitanya, Pak. Silahkan Bapak mau menilai apa. Yang penting Bapak
tahu ada realita seperti ini. Semoga Bapak mau turun dari menara gading Bapak
dan melihat kenyataan ini.”
Mata Bong berkaca – kaca mengucapkan
kata – kata itu. Ketika Bong berlalu dari ruang kelas, aku pun tak mampu
menahan air mata yang mulai jatuh. Sementara dosen kami diam terpaku.
Aku yakin, Bong telah melampaui
kami dengan sangat jauh dan cepat. Komentar – komentar dan pertanyaan kritisnya
di kelas sering mengagetkan dan di luar jangkauan kami, teman seangkatannya .
bacaan – bacaan Bong pun bagi kami terasa aneh. Contohnya, ketika kami masih
berkutat dengan buku teks mengenai dasar – dasar pendidikan, Bong sudah membaca
Paedagogy Of The Oppressed-nya Paulo Freire,
penulis Brazil yang model pendidikan yang ditawarkannnya dianggap ancaman oleh pemerintahanya saat itu sehingga
ia dipenjarakan, atau buku berisi gagasan
“Bebas dari Sekolahnya”- nya Ivan Illich. Ketika dosen kewiraan kami
memeperingatkan tentang bahaya laten komunis, Bong justru membaca pemikiran Karl
Maks.
Bong banyak membaca buku – buku
yang istilah – istilah dalam judulnya saja membuat kening kami berkerut. Saat
tertentu ia membawa buu tentang totalitarianisme, saat lainnya tentang analisis
– analisis gerakan politik, tentang kudeta, dll. Novel, Cerpen, atau puisi yang kami baca bagi
Bong sudah lewat . Ia sering memperlihatkan padaku karya – karya satra para
pengarang dunia. Ketika kutanya dari mana ia memperoleh semua itu, Bong hanya
menjawab “ada deecchh!!!” , tapi kemudian disambungnya , “ makanya, jadi
mahasiswa yang cerdas dong. Jangan Cuma berkutat di kampus sendiri. Gaul!
Disini kan banyak pusat – pusat kebudayaan : prancis, jepang, jerman, de el el
yang ada perpus-nya, atau bursa – bursa buku. Lagian kawan kan gak harus yang
seangkatan, sejurusan, atau sekapus saja. Aku banyak kawan di kampus – kampus
lain, di unit – unit kegiatan mahasiswa, bisa share.”
Tapi tidak itu saja, ternyata
gairah membaca dan cara berpikir Bong yang berbeda dengan kami ini tertradisi
sejak ia SMP di kota kecilkelahirannya.
Menurut cerita Bong, di SMP-nya ada seorang guru yang kritis yang
memperkenalkan dan memperluas pandangan Bong dengan berbagai aliran pemikiran
dan mewariskan tradisi kritis itu padanya. Kekerashatian Bong juga tampaknya
tertempa dari interaksinya dengan guru tersebut. Keberanian guru tersebut
keluar dari statusnya sebagai PNS akibat tidak puas dengan berbagai system di
dalamnya menjadi bukti kekerashatian itu.
Dengan latar belakangnya itu,
tak mengherankan jika sikap dan komentar – komentar Bong di nilai keras dan ekstrim. Dosen – dosen moderat dan
progresif biasanya menaggapi komentar – komentar Bong dengan antusias dan
bangga karena menemukan mahasiswa seperti itu. Lain dengan yang otoriter dan
konservatif, jika mereka tidak menjawab dengan tergagap, mereka akan menyatakan
pernyataan Bong tidak santun dan tidak mencerminkan masyarakat akademis.
Akan sikap – sikap Bong itu
banyak yang tidak menyukai Bong, dan sedikit yang menyukai. Diantara yang
sedikit itu antara lain itu aku. Perhatian – perhatian kecil yang ku tunjukkan
padanya membuat kami menjadi dekat. Cara dan gaya hidup Bong menjadi cara dan
gaya hidupku juga. Bersama Bong aku menemukan dunia yang lain dari yang selama
ini aku kenal. Bong sering menculikku
untuk membolos dari perkuliahan dan mengenalkanku pada ruang – ruang yang di
istilahkan Bong dengan “kuliah yang sebenarnya.” Dia mengajakku menelusuri
lorong – lorong berbagai kampus yang ternyata memiliki banyak aktifitas yang
seolah bergerak dibawah tanah, mengunjungi gedung – gedung pertunjukkan,
pameran lukisan,hingga komunitas – komunitas jalanan. Teman – teman ku yang
kuliah untuk mengejar prestasi berupa IPK tinggi menganggap apa yang kami
lakukan sebagai kemalasan, ke sia – sia an. Setiap kali aku bersama Bong,
mereka menatap dengan mata yang menghina pada Bong, seakan laki – laki itu
sebuah kotoran, atau menatap benci seakan – akan dia seorang pemadat. Mereka
menganggap laki – laki semacam Bong tidak punya masa depan.
Masa depan. Tentang hal ini,
menurutku tergantung pada apa yang kita maknai sebagai masa depan. Dalam
pandanganku sendiri, Bong sedang menciptakan masa depan yang tidak disadari
kawan – kawan dengan apa yang dilakukannya.
Mengikuti aktivitas Bong dari
hari ke hari menyadarkanku akan potensi kepeloporan Bong. Ternyata prediksiu
benar di ormawa – ormawa yang dimasukinya, Bong selalu menjadi yang terdepan.
Dia juga yang merintis terbitnya Koran mahasiswa dikampus kami. Di situ Bong
mencurahkan pemikiran – pemikiran yang kritis, tajam, dan menyentuh. Pada saat
itu juga, ia sudah membiayai hidup dari menulis di media massa umum.
Gerakan – gerakan kami di organisasi – organisasi mahasiswa
ternyata merupakan riak – riak dari sebuah gelombang besar yang suatu saat akan
meruntuhkan kekuasaan yang bercokol selama 32 tahun di tanah air ini. Sadar
akan hal ini, bercermin dari sejarah bagaimana keruntuhan orde lama dari
gerakan 66 terjadi dari suara – suara di Koran mahasiswa, Bong semakin
mengoptimalkan peran Koran kampus kami. Kami bergerak seolah gerakan bawah
tanah yang menyuarakan suara – suara reformasi lewat Koran kami.
Riak
– riak itu semakin membuncah di berbagai kota. Termasuk di kota kami. Saat itu
aku begitu takjub dan terharu bagaimana gelombang massa mahasiswa bergerak di
bawah orasi – orasi Bong. Riak it uterus bergulung. Bergulung menuju satu sasaran.
Dan hari itu,,,,,, kami menangis terharu, sujud syukur, melempar apa saja yang
bisa diempar sebagai luapan kegembiraan, berpelukan, bernyanyi, dan entah apa
lagi, saat rezim itu akhirnya runtuh…..
Selama kebersamaanku dengan
Bong, tak pernah terucap kata cinta dari mulut kami. Tak ada kisah cinta dua
sejoli. Tapi Bong tidak pernah main – main, termasuk untuk perasaannya terhadap
perempuan.
Dan inilah yang kemudian
terjadi. Kami tengah berada di sebuah senja berangin deras dan tengah terburu –
buru, berjalan seolah melesat melintasi
sebuah taman kota setelah berhasil mendapatkan buku yang lama kami cari
– cari dari toko buku yang tak jauh dari taman itu. Langit ruyup dan daun –
daun gugur dengan cepat ke atas tanah . orang – orang baru saja meninggalkan taman
itu karna senjakala akan segera turun. Taman menjadi begitu misteri dengan
pohon – pohon tuanya, seperti kakek renta yang kesepian tiba – tiba
ditinggalkan anak – anak dan cucu – cucu yang barusan ramai menghangatkan
perasaaannya. Kami tetap berjalan
melesat melintasi taman itu menuju halte bis. Bangku – bangku taman sedang kami
lewati satu per satu ketika tiba - tiba Bong berhenti, menarik tanganku, dan
membalikkan badanku ke arahnya. Aku terdiam tak mengerti apa yang dilakukannya.
Dengan tatapan sungguh – sungguh Bong berkata, “ Nis, aku seorang gelandangan.
Tapi aku ingin menikah denganmu. Aku tak perlu bertanya lagi soal cinta/tidak
kau padaku. Aku sudah tahu sejak lama dari sorot matamu. Boleh aku ke rumahmu
dan melamarmu? “
Aku tak mengelak untuk harapan yang kupupuk
dan ku pendam sejak lama. Aku mengangguk, dalam.
Tatkala aku mengangguk, aku
sadar akan konsekwensi menikah dengan sosok seperti Bong. Aku akan terusir dari
jalan hidup yang linier. Orang – orang mengatakan sosok seperti dia pemimpi.
Dan, apa yang diharapkan dari seorang pemimpi? “jika benar dia seorang pemimpi,
aku mengharapkan impian – impiannya. “ bukankah sesungguhnya kehidupan dibangun
dari mimpi? Para pemimpilah yang membangun kehidupan ini.
Peristiwa Mei 1998 telah mulai
tenggelam dari televise seiring malam yang semakin dingin oleh gerimis. Gerimis
itu mungkin juga tangis yang tak henti turun dihatiku melihat Bong membunyikan
nyeri yang menyilet – nyilet paru – parunya. Dia ingin menunjukkan nyala dari
semangat hidupnya padaku, sekalipun nyala itu semakin mengecil oleh sesuatu
yang diluar jangkauan kemampuan manusia.
Kami sedang menunggu teman
sepergerakan kami dulu yang berjanji malam ini akan menengok Bong. Apakah binar
nyala itu ada di hati Bong mengurangi sakit fisiknya dengan rencana kedatangan
sahabatnya? Menatap wajah tirusnya, aku tak berhasil menemukan binar itu. Wajah
Bong itu malah mengingatkanku lagi pada rasa kecewanya dulu setelah sadar
gerakan mahasiswa di manfaatkan para elit politik untuk kepentingan kekuasaanya,
dan rakyat di adu domba. Banyak dari teman – teman kami yang terjerat dalam
lingkaran ini dan menikmatinya. Bong, jika mau, akan menikmati kekuasaan dan
materi berlimpah jika bersedia berada di lingkaran itu. Tapi berbagai tawaran:
sekolah ke luar negri, jabatan, kedudukan, dan segala yang menggiurkan itu,
ditolak Bong.
Bong memilih menjadi penulis
lepas (biar independen, katanya). lewat tulisan – tulisannya dia dengan deras
menyadarkan ketidak beresan itu. Bong juga pernah bergerak di LSM. Tapi ia tak
bisa menerima sikap kawan – kawannya yang lebih memanfaatkan lembaga itu untuk
kepentingan pribadi. “aku tak mau menjual penderitaan rakyat,” ujar Bong
tatkala ia memutuskan mundur. Sejak itu, computer jangkrik kami yang terbeli
dari hasil kemenangan novelku dalam sebuah sayembara, slalu menyala dan
menghasilkan banyak tulisan. Tapi kini lebih sering terdiam sunyi sejak Bong
digerogoti penyakitnya. Aku sendiri tak seproduktif Bong. Dan binar wajah Bong
setiap melihat tulisannya dimuat semakin jarang kulihat. Aku mengharapkan binar
itu muncul saat tamu kami akhirnya datang.
Teman kami datang dengan wajah segar. Pipinya
tampak penuh. Perutnya memperlihatkan kemakmurannya. Disaku kemejanya yang
licin tergantung kunci kendaraan pribadinya dan dua hp-nya selalu berdering.
Kami mengobrol disela sahabat kami itu menjawab
panggilan - panggilan dari hp nya. Sesekali diselingi obrolan hangat
tentang kawan – kawan kami, tentang talk-show yang kemarin kami saksikan di sebuah
stasiun televisi yang menampilkan kawan yang jadi anggota DPRD, dll. Kami
tertawa ketika sampai pada obrolan tokoh vocal dari sebuah ormawa di kampus
kami dulu yang kini menyebrang sebagai pemain sinetron tanpa bekal pendidikan
acting sedikit pun.
“Bong,kau gak akan kayak gini seandainya dulu kans kau jadi direktur
di LSM kita tidak kau tolak. Oya, tadi juga kita baru rapat. Ada program kerja
kita minggu depan,workshop peningkatan usaha kecil dan menengah dan taraf hidup
penduduk miskin kota dihotel yang biasa kita booking itu. Nis,kau gabunglah
sama kami, biar ada pemasukan buat dapur. Kasihan kan suamimu ini harus
terbaring gak diobati?”
Teman kami itu lalu mengeluarkan sebuah amplop
cukup tebal “Bong,ini ada sedikit sisa dana kegiatan kami bulan lalu. Anggaplah
ini sebagai rasa sayang dari kami. Kami ingin kau sembuh.” Melihat amplop itu dan
menghubungkannya dengan kata-kata
temannya, Bong mengurut dada, ada kepedihan di sana. Wajah pucatnya
mengingatkanku lagi pada kata-kata Bong dulu ‘tak mau menjual penderitaan
rakyat’. Bong menggeser amplop itu perlahan, “Makasih banyak.Maaf, aku tidak
bisa menerima ini…. Sampaikan salamku pada kawan-kawan dan minta doanya untuk
kesembuhanku”.
Entah apa yang ada dalam hati sahabat kami
dengan penolakan Bong.Setelah tamu kami pulang,jari-jari kurus tangan Bong
menggenggam tanganku seolah meminta keteguhan hatiku, dan terbisik “Kau masih ingat filsafat lilin itu? Dia member
cahaya pada kegelapan,sekalipun tubuhnya sendiri terbakar…..”
Aku menggigit bibirku. Batinku menjerit. Bong,
akankah usiamu panjang ? jika kau terbakar dengan cepat,siapakah yang akan
memberi terang? Dari malam ke malam,hidup semakin senyap.Aku tak mau melepaskan
genggaman Bong……..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar