Jagalah Umi Seperti Abi Menjaga Nenek!
Karya:
Andini Zahra Adystia
Lembut angin mengelilingi setiap langkah kehidupanku, membuat
semuanya seakan cepat berlalu. Langkah kecil menghampiriku, " Abi...!”
begitulah teriak gadis kecilku. " Ada apa sayang ?" Aku membalasnya
dengan pelukan dan sayang. " Nisa ingin bertemu nenek" ucapnya dengan
nada memelas. " Iya Nisa, setelah sholat magrib ya sayang...!"
jawabku menyetujui keinginannya. Seketika itu juga Nisa berlari menghampiri
ibunya sembari berkata " Umi... Nisa akan bertemu nenek! " . Terlihat
istriku tersenyum melihat tingkah Nisa. Senyuman yang selalu membuatku tenang.
Aiyah adalah satu - satunya istri yang ku miliki, teringat disaat aku ingin
meminangnya, dia memberiku beberapa persyaratan dan salah satunya " Berjanjilah
untuk tidak menikah lagi setelah menikah denganku" .
Senja perlahan pergi, terlihat Nisa sudah berada di teras
rumah. " Abi..! Umi...! Ayo... Jangan lama - lama aku sudah tidak sabar
ingin bertemu nenek" aku dan istriku yang mendengarnya segera keluar dari
rumah. " Iya sayang, sini umi gendong, Nisa sabar ya... abi keluarkan mobilnya dulu!" kata
istriku sembari menggendong Nisa. " Iya Nisa...! ingat hadist nabi...
" belum sempatku meneruskan kata - kataku Nisa langsung berkata "
Innaallaha ma' as shobiriin" . " loh itu Nisa sudah tahu.."
sahut istriku. Memang, Nisa adalah anak yang cerdas dan tanggap tetapi untuk
persoalan menunggu dia tidak sabar. " Iya tahu, abi
setiap hari bilang begitu sama Nisa... Umi!" kata Nisa dengan nada
jengkel. " Kenapa abi selalu bilang begitu, hayo..??" tanya istriku.
" Iya Nisa yang salah karena tidak sabar" kata Nisa dengan tersenyum.
Aku bersyukur kepada Allah karena telah mempercayai aku menjaga amanahNya yang
berupa anak dan istri.
Sesampainya dirumah ibuku. Kami semua langsung menuju ruang
keluarga, aku duduk termenung, dalam benakku berkata, oh ibu sungguh karna
ridhomu dan tulus kasihmu, aku bahagia hidup di dunia. Akupun ingin mebuatmu
bahagia. Namun aku tak tahu bagaimana aku harus membahagiakanmu. " Abi...melamun?"
tanya Nisa sedikit mengejutkanku. " Tidak sayang..!"jawabku. "
Abi, kenapa nenek tidak tinggal bersama kita saja?" tanya Nisa. " Iya
sayang, abi sudah mengajak nenek untuk tinggal bersama kita, tetapi nenek tidak
mau" . " kenapa?" Tanya Nisa lagi. " karena nenek lebih
nyaman tinggal disini sayang!" kataku mencoba menjelaskan. Nisa mengangguk
kan kepalanya beberapa kali seolah memikirkan sesuatu. Aku tahu, jawabanku
tidak memuaskannya.
Ibu telah memasak makanan kesukaanku dan juga Nisa, Ayam dabu
– dabu belanga namanya. Kami semua makan bersama, kehangatan keluarga yang
benar – benar membuatku semakin bersyukur kepada Allah yang tak pernah berhenti
mencurahkan rahmatNya kepada seluruh makhluqNya.
Jarum jam terlalu cepat berlari, membuat aku, Nisa dan
istriku harus segera kembali kerumah. Jarak rumahku dengan rumah ibu memang
tidak terlalu jauh hanya 20 menit ditempuh dengan mobil berkecepatan 50 – 60
rpm. Selama perjalan pulang, Nisa tertidur. “ Sayang, minggu depan tidak usah
kerumah ibu!” kata istriku dengan nada datar. “ Iya sayang...!” jawabku dengan
memutar setir 90 derajat ke arah barat untuk memasuki perumahan basmalah yang
seluruh penghuninya beragama islam. “ Jangan iya – iya saja, aku ini serius!”
sahut istriku. “ Sudah seriuskan tadi?” jawabku sedikit menekan nada bicara
sekedar tuk meyakinkan istriku. Jawabanku membuat istriku terdiam sejenak lalu
kembali berbicara hanya unuk sekedar mengatakan “ Aku ingin beli baju
bersamamu, hanya itu!” . jawabannya membuatku mengerti, dia butuh perhatianku.
Beberapa bulan ini aku memang sibuk dengan urusan kantor dan ibu yang sering
sakit – sakitan meskipun hanya batuk atau demam tapi aku sangat menghawatirkan
ibu. Kekhawatiranku membuatku rela tidak masuk kantor.
Gemercik hujan malam ini, membuatku kembali termenung. Oh ibu,
malam ini terlalu dingin untukmu. Apakah selimut ibu mampu menghangatkan ibu?
Ma’af ibu! Aku bukan anak yang baik. Dulu disaat hujan turun, ibu selalu
menemani tidurku dan memelukku. Tapi sekarang, aku tak melakukan itu untuk ibu.
Malam.... cepatlah berlalu. Mentari sapa ibuku dengan kehangatanmu.
Dingin pagi ini membuatku bangun lebih awal dari pada
biasanya. Kulihat jam dinding yang masih setia berada dikamarku menunjukkan
pukul 02.00 am. Segera kulangkahkan kaki menuju tempat wudu yang berada di
depan kamar mandi. Istriku terlihat sangat letih, tak tega aku membangunkannya.
Gerakan demi gerakan sholatku adalah shodaqohku untuk tiap tulang yang
menyusunku, untuk tiap persendian yang membuatku bergerak, dan tiap tetes darah
yang senantiasa mengalir dalam tubuhku.
Kenikmatan
yang tak kan pernah bisa terhitung untuk di ganti. Ya Allah....! Ampuni dosaku,
Ampuni aku yang sering lengah mengingatMu dan mengeluh.
Aku baca tiap huruf dalam kalamMu,
ku baca dengan berhati – hati, aku takut mengubah arti dari tiap kalimat yang
ada didalamnya apabila aku salah mengucapkannya. Sejuk terasa hati ini,
ketenangan jiwa yang aku dapatkan, sungguh Alquran pengobat hati.
Subuh datang, dengan berat ku ucapkan “ shodaqoallahul
adzim...”. Segera ku bangunkan istriku dan juga Nisa. Aku dibumi diciptakan
sebagai laki – laki, seseorang yang di takdirkan untuk menjadi imam dalam
kelurga, bukan hanya sekedar imam dalam sholat. Tetapi juga imam dalam setiap
detik nafasku. Aku akan selalu bersabar, agar istri dan anakku juga bersabar.
Aku akan selalu tersenyum, agar istri dan anakku juga tersenyum. Aku akan
selalu bersyukur, agar istri dan anakku juga bersyukur. Aku akan selalu
mencintai mereka, agar mereka juga mencintaiku.
Tepat pukul 7 pagi, telfon genggamku berdering tanda
panggilan masuk.
“
Assalammualaikum..!” kata kak Rofi.
“
Wa’alaikumsalam..! ada apa kak?” jawabku.
“ Cepat kamu ke rumah ibu. Ibu sakit, tadi ibu menelfonku.” Kata kak Rofi dengan nada terburu – buru.
“ Cepat kamu ke rumah ibu. Ibu sakit, tadi ibu menelfonku.” Kata kak Rofi dengan nada terburu – buru.
“ Kenapa
ibu tak menelfonku?” tanyaku kecewa.
“ Tadi, aku juga tanya seperti itu kepada ibu. Katanya, takut mengganggumu. Padahal aku mau ada meeting penting. Jadi ya, aku telfon kamu saja.” Kata kak Rofi menjelaskan
“ Tadi, aku juga tanya seperti itu kepada ibu. Katanya, takut mengganggumu. Padahal aku mau ada meeting penting. Jadi ya, aku telfon kamu saja.” Kata kak Rofi menjelaskan
“ Baiklah,
kak! Kakak tenang saja. Aku akan langsung kerumah ibu” jawabku datar.
“ Ya. Sudah
cepat! Assalammualaikum!” sahut kak Rofi mengakhiri percakaan kita.
“
Wa’alaikumsalam..!” jawabku.
Aku putuskan untuk tidak sarapan dan
lansung kerumah ibu. Istriku hanya diam saja dan mengantar Nisa sendiri. Aku
merasa tidak enak dengan istriku, tetapi ibu lebih membutuhkanku. “
Assalammualaikum..!” kataku sambil mengetuk pintu. Ku ulangi beberapa kali.
Tetap tak ada jawaban. “ Bismillahirohmannirrohim..!” kataku dengan yakin dan
mendobrak pintu sekuat tenaga. Alhamdulillah pintu terbuka, ku percepat
langkahku menuju kamar ibu. Namun, tak ada ibu disana. Aku lihat pintu kamar
mandi terbuka, “ Astagfiruallah... ibu..!!!” kataku dengan nada terkejut. Ibu
tergeletak dilantai kamar mandi. Aku langsung membawanya kerumah sakit.
Beberapa hari ibu tak sadarkan diri
dirumah sakit, selama itu juga aku menjaganya. Aku akan menjaga ibu sampai
kapanpun. Aisyah istriku, dia menyuruhku pulang. Aku menolaknya, aku akan tetap
dirumah sakit sampai ibu sembuh. Semua kegiatan ku lakukan dikamar ini, kamar
dimana ibu di rawat.
Dalam
satu bulan ini aku sudah 7 kali izin tak
masuk kantor. Seringnya aku izin membuat atasan dan karyawan yang lain gerah.
Aku memilih mengundurkan diri dari perusahaan. Aku juga sudah memikirkannya
matang – matang, aku memiliki beberapa usaha dibidang pertanian dan juga industri.
Ku rasa hasil dari keduanya cukup untuk kebutuhan bulanan. Istriku kecewa
denganku, di menganggap tindakanku terlalu gegabah. Dia bilang aku salah.
Mungkin memang aku salah. Tapi aku tak bisa membiarkan ibu sendiri. Kakak –
kakakku sibuk dengan pekerjan dan rumah tangga masing – masing. Lalu siapa yang
akan menjaga ibu kalau bukan aku?.
Istriku tak mau mengerti, namun aku membiarkannya. Dan berharap suatu
saat dia mau mengerti.
`Hari ini ibu sudah sadar, dan diperbolehkan pulang. Namun
kaki ibu lumpuh karena syaraf tulang belakang terganggu akibat jatuhnya ibu di
kamar mandi waktu itu. Aku membawa ibu kerumahku. Tampak istriku tak senang.
Aku tak menyalahkannya, mungkin ini semua memang salahku terlalu memanjakannya.
Ibu memang tak pernah betah tinggal di rumah orang lain.
Meskipun itu rumah anaknya sendiri. Ibu minta pulang kerumahnya, akupun
mengantarkannya dan menginap disana. Adzan subuh berkumandang, ibu ingin sholat
berjamaah. Aku menggendongnya sekedar untuk berwudhu lalu berjama’ah bersama.
Jam 7 pagi aku pulang untuk mengantarkan Nisa ke sekolah. “ Abi... bagaimana dengan nenek?” tanya Nisa
sedih. “ Abi akan selalu menjaga nenek. Jadi Nisa tak perlu khawatir..!”
jawabku.
“ Abi...
kenapa umi tidak mau bicara dengan abi?” tanya Nisa semakin sedih. “ Bukannya
umi tak mau bicara dengan abi, tetapi memang tak ada yang perlu dibicarakan
sayang...!” jawabku mencoba tak membuat Nisa sedih.
Jam 9 aku kerumah ibu, saat aku
mencium tangannya ibu bertanya “ Kamu siapa nak?”. Ibu memang sudah cukup tua,
wajar saja ibu sering lupa. Tetapi mengapa kali ini ibu tidak mengenaliku? Ah,
sudahlah. Kata dokter itu biasa terjadi pada setiap orang yang lanjut usia. “
Aku Amir ibu... Anak terakhir ibu!” jawabku mencoba mengingatkan. “ Oh..
Amir...! bagaimana dengan kuliahmu?” tanya ibuku. Ya Allah, ibu lupa kalau aku
sudah berkeluarga dan telah lulus kuliah beberapa tahun yang lalu. “ Ibu...
Amir sudah menikah dan punya anak!” jawabku. “ Ibu tidak memasak, ibu tadi
makan bubur yang ada di meja makan saja.” Kata ibuku tanpa menanggapi kata –
kataku.
Ibu mendapat undangan untuk menghadiri
pengajian akbar hari kamis malam. Tetapi ibu terus memaksaku untuk
mengantarkannya sekarang. “ Ibu... hari ini masih hari rabu, pengajiannya kan
hari kamis?” kataku mencoba menjelaskan. Tetap saja ibu memintaku mengantarnya.
Aku tak bisa berbuat apa – apa. Aku turuti saja kemauan ibu. Saat aku mengambil
kursi rodanya karena memang jarak rumah ibu kemasjid tempat akan dilaksanaknnya
pengajian tidak terlalu jauh. Hanya berada diblok K, dan rumah ibu berada di
blok A.
“ Tidak.. aku tidak ingin duduk
dikursi itu. Gendong saja aku. Nanti aku duduk di kursi yang sudah di sediakan
panitia” kata ibuku. Ya Allah, aku tak tahu lagi harus bagaimana membahagiakan
ibu. Semoga dengan ku turuti semua keinginannya sudah membuatnya bahagia, meski
ku tahu itu saja belum cukup. Aku gendong ibu dengan perasaan haru dan bahagia.
Dulu aku yang digendongnya dan di ajak kemana – mana. sekarang aku bisa
menggendong ibu meskipun hanya untuk ke masjid. Terlihat ibu tersenyum bahagia
saat aku menggendongnya. “ Ibu..! aku mencintaimu” kataku. “ Cinta ibu ke kamu lebih besar dari pada cinta
kamu ke ibu!” jawab ibu tersenyum. “ Tidak ibu, aku ingin mencintaimu lebih
besar lagi..!” jawabku membela diri. “ ya sudahlah, ibu mengalah... cintamu
yang lebih besar!” kata ibu dengan sedkit tertawa. “ Bukan begitu maksud
Amir... “ jawabku lagi, masih dengan menggendong ibu menuju masjid. “ Lalu bagaimana?” tanya ibu. “ Cinta ibu
kepadaku sangatlah besar. Tetapi aku
akan selalu berusah mencintai ibu lebih besar lagi dari pada hari ini!”
jawabku.
Perjalanan malam ini adalah perjalan yang terindah sepanjang
hidupku, percakaan kami, membuat aku tak merasakan lelah, bahkan aku masih
ingin menambah jarak menuju masjid untuk tetap berbicara dengan ibu. “ Mengapa
masjid sepi ya? “ tanya ibu. “ Masjid penuh dengan malaikat. Ibu..!” jawabku
sambil tersenyum. “Ambil alquran itu Amir....! Ibu ingin mendengar kamu mengaji!”
kata ibu sambil menunjuk sudut masjid tempat Alquran tertata rapi. Segera aku
ambil satu alquran untuk kubaca. Ku lantunkan tiap lafadh surat Al – Alaq, ku
rasakan suasana yang sangat berbeda, lebih mencekam, mengingatkanku kepada
peristiwa ketika nabi Muhammad menerima wahyu yang pertama kali, tepat 17
ramadhan melalui malaikat jibril di gua hiro’.
Selesai mengaji, ibu mengajakku
pulang. Kembali ku gendong ibu. Di tengah perjalan ibu bertanya “ Amir,
anakku..! Apakah kamu lelah menggendong ibu? “ . “ Tidak ibu...! tidak sama
sekali. “ jawabku. “ Kenapa?” tanya ibu
lagi. “ Karena aku bahagia ibu....!” jawabku. Ibu hanya tersenyum. Sesampainya
dirumah ibu langsung tidur.
Ke esokkanya, setelah sholat shubuh,
ibu mengajakku ke pasar. Dan menemaninya memasak. Tepat jam 7 semuanya selesai
dan ibu menyuruhku membawa makanan itu kepada Nisa. Aku sangat bersyukur, pagi
ini ibu tidak lupa dengan Nisa. Seperti biasanya, aku pulang kerumahku dan
mengantarkan Nisa ke sekolah. Setelah mengantar Nisa, aku tidak langsung
kembali ke rumah ibu. Aku ingin bertemu istriku.
Aisyah hanya diam saja, seoalah tak
mengaharapkan aku datang. “ Umi... ma’afkan abi!” kataku menyadari kesalahanku
yang kurang perhatian padanya bahkan nyaris tak ku perhatikan dalam satu bulan
terakhir ini. “ Simpan saja kata ma’afmu Amir!” jawabnya datar namun sangat
menusuk hatiku. “ Ku harap kamu mengerti... Ibu membutuhkanku!” sahutku. “
Tidak. Aku tidak mengerti. Aku rasa kamu sudah tidak mencintaiku lagi. Kau habiskan
waktumu bersama ibumu.” Kata istriku dengan nada tinggi. “ Aisyah....! ma’afkan
aku. Aku sangat mencintaimu tetapi aku akan tetap menjaga ibu” kataku.
Waktu cepat berlalu sudah beberapa
bulan aku seperti ini, tepat ketika aku menjemput Nisa, “ Abi...! kapan abi
tinggal dirumah seperti dulu?” tanya Nisa. “ Setelah nenek sembuh Nisa!”
jawabku. “ Iya, tapi kapan?” tanya Nisa lagi. “ Nisa dengarkan abi!. Jagalah
umi seperti abi menjaga nenek, Nisa mengerti sayang?” kataku. “iya abi, Nisa
mengerti!” jawab Nisa meyakinkan.
Setelah aku menjemput Nisa aku pulang ke rumah. “Dimana
Aisyah?” batinku.Entahlah dimana dia, padahal aku ingin mengajaknya bertemu
ibu. “Istriku, tidakkah kau ingin menjenguk ibu?” batinku lagi. Ku lihat telfon
genggam milik istriku berada dimeja. Mungkin dia tidak pergi jauh, oleh karena
itu dia tak perlu membawa telfon genggamnya. Tiba – tiba telfon genggamnya
berdering tanda sms masuk. Ku hampiri dan ku buka : “ Sayang, kamu dimana? Aku
sudah berada di taman kota, dekat air mancur!”. Ku baca sms itu perlahan dan ku
lihat siapa pengirimnya. Ternyata Sahrul, iya, Sahrul teman sekantorku dulu. Seseorang
laki – laki yang telah lama menyukai istriku. Ini semua salahku, aku tak
memperhatikan istriku, aku tak dapat sepenuhnya menyalahkan istriku.
Sekedar untuk berjaga – jaga, aku menelfon kakakku untuk hari
ini saja menemani ibu. Dan aku pergi ke taman kota untuk memantau istriku.
Taman kota hari ini cukup ramai, terlihat wanita dengan baju long dress
berwarna pink duduk disamping Sahrul. Tertawa bercanda bersama. Aku hanya
melihatnya dari kejauhan, aku bahagia istriku merasa bahagia meski bukan karena
diriku. Tetapi tak dapat ku pungkiri, hati ini sakit, Ya Allah. Aisyah istriku,
semoga ini semua hanya ke khilafanmu. Aku sangat mencintaimu sayang!.
Aisyah merasa ada yang
memperhatikan gerak geriknya. Dia mencari sepasang mata yang memperhatikannya.
Dan dia melihatku, aku hanya tersenyum. Sahrul terlihat gugup, dan pergi
meninggalkan istriku. Lalu Aisyah menghampiriku. “ Amir...!” dia menyebut
namaku. “ Iya, istriku! Aku Amir suamimu!” jawabku dengan tersenyum menahan
sakit hati ini. Aku meraih tangannya dan mengajaknya pulang. Sesampainya
dirumah aku menyuruhnya sholat duha berjama’ah denganku. Selesai sholat duha,
Aisyah meminta ma’af kepadaku. Dia menangis, aku mengusap air matanya. “ Aisyah
mengapa kamu menangis?” tanyaku padanya. “
Aku bersalah...!” jawabnya. “ Bersalah kepada siapa?” tanyaku lagi. “
Padamu, suamiku!” jawabnya lagi. “ Tidak Aisyah, kamu tidak bersalah padaku,
aku sangat mencitaimu!” jawabku lagi.
Telfon genggamku berdering, kakakku menelfonku. Dia bilang
kalau ibu ingin bertemu aku, Aisyah dan Nisa. Aku dan Asiyah segera menjemput
Nisa yang masih berada disekolah. Sesampainya di rumah ibu. Aisyah menangis dan
meminta ma’af kepada ibuku. Semua kakakku juga berada dirumah disana. Semuanya
berkumpul atas permintaan ibu. Ada apa ini? hatiku merasa tidak enak. Aku
genggam tangan ibu, seakan enggan melepaskannya. Ibu tersenyum padaku. Dan
berkata, “ Aku menyayangi semua anak – anakku, tetapi ma’afkan ibu! Ibu lebih
menyayangi Amir”. Aku menangis dengan memeluk ibu. Lalu ibu berkata lagi “
Amir, ibu sudah lelah. Aisyah! temani Amir, besabarlah dengan kekurangannya!” .
ya, Allah....! ada apa dengan ibu? Mengapa ibu berkata seperti ini.
Terdengar lantunan ayat suci alquran menari – nari di udara,
tangan ibu menggenggamku sejenak, lalu perlahan lemas, sembari mengucapkan dua
kalimat syahadat. Kini aku tahu ibu telah lelah berada di dunia, ibu ingin
segera menghadap sang ilahi. Kakakku segera kemasjid untuk mengumumkan
kepergian ibu. Tepat selesai sholat jumat ibu di sholati oleh seluruh jama’ah
sholat jumat. Ku antarkan ibu ke tempat peristirahatan terakhir. Ku gendong ibu
untuk yang terakhir kalinya, memasuki pintu alam barzakh.
Kau lah ibuku! cinta kasihku, terimakasih ku tak kan pernah
terhenti, meski sekarang kita berada di alam yang berbeda. Pengorbananmu tak
kan pernah terganti. Kau bagai matahari
yang selalu bersinar, sinari hidupku dengan kehangatanmu. Selembut sutra
kasihmu kan selalu ku rasa dalam suka dan duka, karena kaulah ibuku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar